skip to main | skip to sidebar

TEORI MEDIA DAN TEORI MASYARAKAT


Oleh Abdul Pirol

Abstrak :   Media and society have a tight relationship that could not be separated. Therefore, there will be a continous relationship between media and society. In this regard, media represents the reality of society whatever its ideology. This work aims at elaborating a corelationship between media and society based on systems of communication and sociological perspectives. Furthermore, whatever ideology of media, a continous relationship between media and society is a necessary.
                  
Kata kunci : media, masyarakat, sistem, komunikasi, ideologi

Pendahuluan
Media dan masyarakat merupakan dua hal yang tak terpisahkan, ibarat ikan dan air. Karena itu, memisahkan media dari masyarakatnya, sama halnya dengan memisahkan ikan dari air. Hal ini tidaklah berarti masyarakat dapat mengontrol media secara otoriter, tetapi dimaksudkan untuk menggambarkan keberadaan media tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya. Demikian pula, dalam batas-batas tertentu dapat dipahami bahwa media dan keberadaannya merepresentasikan suatu masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Jeffres (1968: 14), “The mass media canreflect society’ in a multitude of ways”. Ingin dikatakan di sini, media dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat.
Media sebagai bagian teknologi komunikasi dengan segala potensi pemanfaatannya, hanyalah salah satu bagian dari satu sistem yang ikut berperan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan segala kemajuannya yang spektakuler dewasa ini, media telah dimanfaatkan sedemikian rupa untuk melayani kepentingan dan kebutuhan hidup umat manusia. Sayangnya, kemajuan media terkadang terlampau cepat dibanding laju kemajuan masyarakat. Sehingga, respon sebagian masyarakat terkadang sudah kadaluarsa berhadapan dengan kemajuan media.
Semakin modern suatu masyarakat semakin kompleks pula sistem komunikasinya, seperti juga semakin rumitnya interaksi sosial di dalamnya. Salah satu ciri masyarakat modern ialah meningkatnya urbanisasi dan penyingkapan masyarakat kepada media massa (media exposure).  Salah satu variabel atau faktor yang menonjol dalam masyarakat yang sistem komunikasinya sudah canggih adalah peranan media massa (A. Muis,       2001: 5).
Banyak teori dan aliran yang lahir dalam upaya untuk mencari kejelasan hubungan antara golongan dan ideologi masyarakat dan media. Dalam konteks ini, tidak jarang persoalan perbedaan dan konflik antara tinjauan teoritis mengenai media massa,  sebagai sebuah kajian yang penting, lebih mengemuka ketimbang menunjukkan dan menjelaskan bagaimana sebuah media bekerja. Perspektif teoritis yang seringkali diperhadapkan, yakni antara teori liberal-pluralist dan teori Marxist.
Untuk meneliti lebih jauh persoalan ini, Bannet (1985: 30-55) misalnya, memulai dari istilah-istilah penting yang terkait dengan media tertentu, yaitu: “massa”, “media”, dan “komunikasi”. Dari sini ditemukan satu cara menghubungkannya ke dalam satu proses dan hubungan sosial politik yang lebih luas. Karenanya, tujuan yang ingin dicapai Bennet adalah menelusuri beberapa isu yang lebih luas yang menjadi dasar pertanyaan sederhana di sekitar penamaan, identifikasi esensi dugaan dan perkiraan yang telah mempengaruhi cara dalam mengkaji media.
Selain itu, Bennet juga mencoba mendeskripsikan teori-teori institusi massa dan kritik budaya massa; pandangan institusi massa dan riset massa; aliran Franfurt dan kritik budaya industri; dan teori Marxisme tentang golongan, ideologi, dan media. Dari deskripsinya ini, yang menarik untuk dielaborasi lebih lanjut adalah apakah ada hubungan timbal balik atau semacam interfluenced antara ideologi sosial-politik masyarakat dan media? Pertanyaan inilah yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini. Hal ini penting, untuk menilai kecenderungan apa yang mewarnai politik suatu media dalam kaitannya dengan aliran-aliran ideologi yang ada.

 Massa, Media, dan Komunikasi
Istilah “massa” atau “mass” dalam bahasa Inggris seringkali dikaitkan dengan kata media dan komunikasi dalam khasanah ilmu komunikasi. Sehingga, dalam ilmu komunikasi, dijumpai istilah media massa dan komunikasi massa. Dalam teknis ilmu komunikasi, media massa padanan kata dari mass communications atau communications, yaitu saluran komunikasi massa, kependekan dari istilah media of mass communication. Sedang istilah komunikasi massa diadopsi dari istilah mass communication, kependekan dari mass media communication. Pengertian istilah massa di sini, berbeda dari istilah massa yang biasa digunakan dalam ilmu sosiologi. Kalau dalam sosiologi, yang dimaksud massa secara sederhana menunjuk pada sejumlah orang dalam jumlah banyak (serombongan atau sekumpulan orang), dalam komunikasi menunjuk pada arti yang lebih dalam, yaitu keterlibatan pemaknaan yang relatif sama oleh sejumlah orang atas satu informasi atau pesan.
Istilah-istilah “massa”, “media”, dan “komunikasi”, seringkali mencakup asumsi-asumsi tertentu mengenai hakikat satu media, proses-proses yang dengannya membentuk bagian dan cara untuk berhubungan dengan proses dan hubungan sosial politik yang lebih luas. Sebagai dijelaskan Bennet (1985: 30), dalam penggunaan klasiknya, sebagai contoh, istilah “mass” mengandung makna audiens yang diciptakan oleh media baru yang secara sosial tidak berbeda, baik dari segi golongan, jenis kelamin maupun etnis. Dengan cara ini, istilah media massa dan media komunikasi massa dibentuk sebagai bagian dari teori masyarakat yang diletakkan dalam kerangka hubungan antara media dan proses-proses sosial.
Dalam pendapat Wiryanto, kata massa dalam komunikasi massa dapat diartikan lebih dari sekadar “orang banyak”, seperti orang-orang yang sedang mengerumuni penjual obat atau yang sedang bersama-sama berhenti menanti dibukanya pintu lintasan kereta api. Massa di sinni bukan sekadar orang banyak dalam satu lokasi yang sama. Massa dapat diartikan sebagai “meliupti semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran (Wiryanto, 2000: 2). Dengan demikian, massa mengandung pengertian orang banyak, tetapi mereka tidak harus berada di suatu lokasi tertentu yang sama. Mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi yang dalam waktu sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama.
Massa juga dapat diartikan sebagai “meliputi semua lapisan masyarakat” atau “khalayak ramai” dalam berbagai tingkat umur, pendidikan, keyakinan, status sosial. Tentu saja yang terjangkau oleh saluran media massa. Pengertian ini perlu dikemukakan, sebab istilah massa pernah dipakai hanya untuk menunjuk suatu lapisan bawah atau rendah, yang jumlahnya paling banyak dalam suatu sistem sosial, yang primitif, lebih banyak dikuasai naluri daripada oleh akal sehat, dan cenderung suka membuat kerusuhan apabila ada kesempatan.
Kata “media” dalam ilmu komunikasi diterjemahkan dari istilah Latin “medium” yang berarti “tengah” atau “perantara” (Branston, 2003: 9). Media modern seringkali dipandang sebagai perantara antara satu “dunia” dan audiens. Tetapi bagi Branston, media tidak dapat diasumsikan secara seperti itu, sebagai saluran komunikasi sederhana, hanya sebagai “jendela-jendela atas dunia”. Ini mungkin satu pendapat yang lebih maju yang menilai media komunikasi tidak hanya apa yang tampak, bisa diindera sebagaimana media massa seperti TV, radio, surat kabar, dan majalah, tetapi juga hal-hal yang tersembunyi dari sesuatu pesan yang ditampilkan oleh media.
Selama ini, abad ke 19 dan ke 20, yang dimaksud dalam ilmu komunikasi sebagai media massa adalah pers, radio dan televisi, film dan industri rekaman, yang secara tradisional dikelompokkan bersama di bawah judul “media massa” dan kajiannya dibangun sebagai bagian dari sosiologi komunikasi massa. Jeffres (1986: 1) dalam kajiannya, membagi dua karakteristik media massa, yaitu media massa elektronik (TV, radio, film) dan media massa tercetak (surat kabar, majalah, dan buku).
Tiap-tiap media massa ini memiliki kualitas-kualitas atau sifat-sifat tertentu. Media tercetak, misalnya, hanya bersifat visual bisa dilihat. Majalah dan surat kabar dirancang untuk menangkap penglihatan, melalui warna, gambar, judul berita, gambar, dan tipe wajah. Pesan-pesan melalui radio hanya didengar melalui suara, berbeda dari televisi dan film yang mentransmisikan pesan melalui suara dan gambar. Perbedaan lainnya, pesan-pesan melalui media tercetak dapat disimpan, berbeda dari media elektonik yang harus dikomsumsi pada saat ditayangkan. Secara tipikal, media elektronik tidak dapat diindeks (nonindexable), sebaliknya media tercetak dapat diindeks (indexable) melalui judul, headlines dan captions (Jeffres, 1986: 5).
Sementara itu, istilah komunikasi mempunyai banyak pengertian, sebagaimana secara acak didaftar oleh Thayer, di antaranya: “Komunikasi adalah proses efektif dari saling tukar pesan antara dua orang atau lebih”. “Komunikasi adalah saling tukar ide yang menguntungkan kedua belah pihak melalui cara-cara efektif”. “… saling tukar pemikiran, opini, atau informasi melalui kata-kata, tulisan, atau tanda-tanda”. “Komunikasi adalah pengaturan rangsangan lingkungan untuk menghasilkan tingkah laku tertentu yang diharapkan pada makhluk yang lain” (Lee Thayer, 1968: 13).
Beberapa definisi tersebut di atas, menurut Thayer, tidak ada yang keliru, bahkan beberapa di antaranya menunjukkan adanya persamaan. Walaupun, pada sebagian definisi terdapat perbedaan, yang misalnya, melihat komunikasi bukan sekadar terjadinya pertukaran ide atau informasi, tetapi juga aspek spirit di belakang sebuah pesan dan kemampuan suatu pesan untuk mempengaruhi tingkah laku.
Menambahkan kata massa pada kata komunikasi, sehingga menjadi komunikasi massa menimbulkan pengertian baru. Berbeda dari komunikasi antar pribadi, komunikasi massa membawa berbagai konsekuensi, seperti sifat alir pesan-pesannya, konteks komunikasinya, mekanisme umpan baliknya, kecepatan serta luas jangkauannya, dan masalah seleksi serta efek-efek yang timbul.

Kaitan Media dan Masyarakat
Fungsi komunikasi massa, pada umumnya dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu: pertama, adalah fungsi yang sifatnya berlaku di mana-mana (universal). Kedua, fungsi yang ditentukan oleh sistem politik dan sistem budaya di mana komunikasi massa itu berada. Menurut Muis (2001: 6-7), seringkali fungsi-fungsi media massa memiliki arti istilah yang sama, tetapi tidak memiliki konsep yang sama. Hal ini disebabkan perbedaan sistem politik atau nilai budaya suatu bangsa atau negara. Dengan demikian, kategorisasi fungsi media massa pada dasarnya sejalan dengan pembagian sistem media massa di dunia ini.
Kategorisasi atau cara membagi sistem media massa paling sedikit ada lima macam, yaitu:
1.       Sistem yang tunduk kepada kekuasaan politik dan yang tidak tunduk kepada kekuasaan politik, tetapi kebebasannya dibatasi oleh undang-undang yang dilaksanakan pengadilan.
2.       Sistem otoriter, sistem liberter, sistem yang bertanggungjawab sosial dan sistem komunis.
3.       Sistem yang tunduk kepada kekuasaan politik (sistem otoriter dan sistem komunis dengan latar belkang filsafat ideologi yang berbeda), yang tidak tunduk kepada kekuasaan politik (sistem liberter dan sistem yang bertanggung jawab sosial), dan sistem peralihan yang pada umumnya ditemukan di negara-negara yang sedang berkembang di Asia dan Pasifik.
4.       Sistem otoriter liberter, bertanggung jawab sosial dan Pancasila (sudut pandang Indonesia), dan sistem teokrasi (di negara-negara Islam).
5.       Sistem media pembangunan dan sistem partisipan demokratis di negara sedang berkembang (Muis, 2005: 7).
Terlepas dari sistem mana yang berlaku pada suatu negara, kemajuan teknologi komunikasi tentu saja, seperti juga teknologi yang lain, memiliki dampak positif dan negatif. Jadi teknologi bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan positif, tapi juga dapat membawa implikasi negatif. Ada potensi perubahan sosial yang cukup mendasar, dalam skala makro, yang diharapkan bisa terjadi dalam masyarakat sebagai akibat dari kemajuan teknologi komunikasi. Potensi perubahan dimaksud, sebagaimana dikatakan Marwah Daud Ibrahim (1995: 68-69) antara lain:
Pertama, diharapkan dengan kemajuan teknologi komunikasi orang kian kosmopolit, dalam artian kemungkinan bagi orang untuk kian terbuka dan menerima orang lain semakin besar. Perbedaan-perbedaan sudaj diterimasebagai suatu yang baik. Hal ini memungkinkan terjadi karena saling silang komunikasi antar budaya kian tinggi intensitasnya.                 
Kedua, dengan kemajuan teknologi komunikasi yang luar biasa pesatnya, diharapkan saling pengertian antar warga masyarakat yang berbeda kian meningkat. Ketiga, diharapkan juga dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi, solidaritas sosial kian meningkat. Mereka yang berada di negara atau wilayah atau dalam strata sosial yang lebih baik diharapkan lebih peduli pada mereka yang berada pada lapisan bawah.
Keempat, dengan semakin canggihnya alat komunikasi, setiap orang diharapkan lebih berkualitas. Asumsi ini diajukan mengingat bahwa peralatan komunikasi bisa menjadi alat untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pendidikan, mengajarkan keterampilan, meyampaikan pesan-pesan keagamaan, mengajarkan cara hidup yang sehat, santun dan berbudi, religius, dan sebagainya.
Tetapi, harapan-harapan di atas dapat berubah sebaliknya, justru menjadi negatif. Dalam skala mikro, beberapa kemungkinan perubahan sosial yang bisa muncul akibat kemajuan teknologi komunikasi bisa dicatat, antara lain: kian meningkatnya sikap hedonisme, konsumtivisme, materialisme, permisivisme, dan sadisme. Hal-hal ini sering dihubungkan dengan isi media massa yang kian mengumbar sifat-sifat yang dinilai negatif tadi.
Jika nilai yang diintroduksikan oleh media sejalan dengan apa yang diharapkan pada institusi nilai yang lain, maka akan didapatkan hasil yang maksimal. Tapi, jika apa yang disampaikan oleh media malah bertentangan dengan apa yang didapatkan di rumah, sekolah, dan tempat ibadah, maka boleh jadi, terutama anak-anak dan generasi muda, dilanda oleh kebingungan. Dan nilai yang pengaruhnya lebih kuat dan dominan akan mewarnai sikap dan prilaku sosial mereka. Kenyataan ini membuat harapan dan tuntutan agar media bisa membawakan misi dan visi yang menunjang pengembangan nilai positif menjadi sangat mendesak.
Sejarah perpolitikan di negara-negara modern menunjukkan besarnya keterlibatan media massa dalam pelaksanaan kekuasaan politik. Di negara-negara yang menyangkut sistem otoriter keterlibatan media adalah sebagai alat propaganda yang sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah untuk mengendalikan aktivitas politik rakyat (top down). Sedangkan, di negara-negara demokrasi keterlibatan media adalah sebagai saluran komunikasi dari rakyat untuk mengontrol kinerja pemerintah (bottom up). Jelasnya, secara umum sistem politik di suatu negara mewarnai sistem media di negara bersangkutan (A. Muis, 2001: 260). Di negara-negara yang mengalami reformasi, media massa dikontrol oleh masyarakat, pasar, dan pemilik media. Idealnya, media dalam wacana civil society (masyarakat madani), harus sanggup memainkan peran yang seimbang di antara kekuatan civil society, yaitu: warga masyarakat, negara, pasar, dan wilayah pribadi.
Membincang hubungan antara media dan masyarakat, Leo (1986: 13) mengajukan dua macam jalur utama yang dapat dikaji lebih lanjut, yaitu: pertama, alur masyarakat ke media massa; dan kedua, alur dari media massa ke masyarakat. Alur pertama mewakili pandangan bahwa masyarakat mempengaruhi masyarakat; sedang alur kedua sebaliknya, media massa dipengaruhi oleh masyarakat. Jelasnya, pada semua tingkat, dewasa ini, ada satu keyakinan bahwa media massa dapat dan melakukan pengaruh pada kehidupan umat manusia dengan cara-cara yang penting.
Penjelasan atas alur pertama pola kaitan media dan masyarakat, mempertimbangkan konsep “budaya” dan pandangan-pandangan mutakhir yang berdasar pada bagaimana ia direfleksikan dalam media massa. Demikian juga, dilihat kembali bagaimana media bekerja sesuai dengan filosofi normatif mencakup: otoritarian, libertarian, social resposibility, dan komunis/Marxist. Sedang alur kedua mempertimbangkan efek media yang mendasar dengan mengacu pada model jarum hipodermik dan berlanjut pada “the two-step flow” pengaruh media dan model difusi. Betapapun, persoalan ini berangkat dari pandangan bahwa media memiliki kekuatan.
Hubungan antara aliran-aliran yang lebih penting dari teori media dan perhatian yang lebih luas dari tradisi-tradisi teori sosial yang pada bergantung satu cara, memberikan kejelasan hubungan antara perhatian-perhatian empiris khusus dan dasar-dasar hubungan teoritis. Berfokus pada teori-teori institusi massa, liberal-pluralisme, teori kritis aliran Frankfurt dan perkembangan yang lebih baru, termasuk ideologi Marxist, yang oleh pakar seperti Bennet, ditempatkan pada konteks politik dan jejak sejarah yang saling berhubungan, teori hubungan media massa dan masyarakat perlu dibangun dan dikaji kembali.
Secara lebih khusus, dalam perspektif Islam perlu digali model yang lebih aplikatif. Islam, tentu saja, tidak berada pada salah satu dari dua titik ekstrim ideologi masyarakat, antara kapitalisme atau sosialisme. Walaupun belum dapat diteoritiskan, tetapi setidaknya model aplikatif yang ditawarkan Islam dapat digali dari konsep-konsep ajaran Islam tentang ummah, tauhid, ta’awun dan syura.

Penutup
Sebelum mengkaji lebih jauh masalah di sekitar media dan masyarakat, ada istilah-istilah teknis komunikasi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu. Istilah-istilah tersebut, yaitu: massa, media, dan komunikasi. Ketiga istilah ini saling terkait, satu dari yang lainnya. Kombinasi istilah-istilah ini dalam perkembangan komunikasi kontemporer dikenal, misalnya apa yang disebut media massa dan komunikasi massa.
Media dan masyarakat, di manapun berada di dunia ini dan ideologi apapun yang berlaku di negara tersebut, berlaku anggapan adanya keterkaitan antara media dan masyarakat, dan atau sebaliknya. Selain itu, media dengan hakikat fungsinya akan selalu berhadapan dengan kepentingan-kepentingan, baik internal maupun eksternal media. Secara internal fungsi media akan dipengaruhi oleh pemilik media dan pengelolanya. Secara eksternal fungsi media diperhadapkan pada kekuatan publik, masyarakat, negara, dan pasar.

Daftar Rujukan

Bennet, Tony. “Theories of the Media, Theories of Society” dalam Michael Gurevich, et.al. (Editor), Culture, Society, and The Media. New York: Methuen & Co., 1985.
 Branston Gill, dan Roy Stafford. The Media Student’s Book, Ed.III; London: Routledge, 2003.
Ibrahim, Marwah Daud. Teknologi, Emansipasi, dan Transendensi: Wacana Peradaban dengan Visi Islam, Cet.II; Bandung: Mizan, 1995.
 Jeffres, Leo W. Mass Media: Prosesses and Effect, Illinois: Waveland,1986.
 Muis, A. Komunikasi Islam, Cet. I; Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 2001.
 Thayer, Lee. Communication and Communication Systems: in Organization, Management, and Interpersonal Relations, Illinois, Richard D. Irwin, Inc., 1968.
 Wiryanto. Teori Komunikasi Massa, Cet. I; Jakarta: PT Grasindo, 2000.