skip to main | skip to sidebar

KOMUNIKASI, MEDIA DAN AUDIENS


Oleh Anggriani Alamsyah

Abstrak :   This broad publik making significance of mass media of communication- the ability  to create public, define issues, provide common terms of reference, and thus to allocate attention and power – has evoked a large number of theoretical contributions. Mass communications is the process whereby media organizations produce and transmit messages to large public and process by which those messages are sought, used, understood, and influenced by audiens.
                  
Kata kunci : media, audiens, komunikasi

Pendahuluan
Kita hidup dalam apa yang disebut Mc Luhan sebagai “Global Village”. Media komunikasi modern memungkinkan jutaan orang melintasi dunia untuk berhubungan dengan hampir disetiap titik di bumi.
Komunikasi massa adalah proses dimana organisasi media menghasilkan dan mentransmisikan pesan kepada publik yang lebih besar dan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh audiens. Komunikasi massa adalah separuh keterampilan, separuh seni, dan separuh ilmu pengetahuan. Dia merupakan keterampilan karena melibatkan beberapa teknik dasar yang dapat dipelajari seperti berfokus pada kamera televisi, mengoperasikan perangkat audio, dan mencatat selama wawancara. Dia merupakan seni karena melibatkan tantangan kreatif seperti menulis sebuah skrip untuk dokumentasi televisi, membuat layout yang menarik dan menyenangkan untuk iklan majalah, dan datang dengan ulasan yang menarik dan tegas. Komunikasi merupakan ilmu pengetahuan karena beberapa variabel prinsipil dilibatkan demi mencapai tujuan-tujuan komunikasi yang lebih efektif.
Walaupun hampir semua orang menyadari efek komunikasi massa, sedikit sekali orang yang memahami gejala komunikasi massa. Akibatnya komunikasi massa telah dipandang secara ambivalen. Pengutuk menimpakan segala “dosa” dan kegagalan pada komunikasi massa, pemuja mengharapkan “jasa” dan keberhasilan daripadanya.
Pusat dari setiap studi komunikasi adalah media. Organisasi media mendistribusikan pesan yang mempengaruhi dan merefleksikan budaya masyarakat, dan mereka menyediakan informasi secara simultan kepada audiens heterogen yang besar, membuat media menjadi bagian dari kekuatan lembaga masyarakat.

 Pembahasan
Media tentu saja secara tidak langsung bermakna mediasi karena mereka berada di antara audiens dan dunia. Denis McQuail mengemukakan beberapa metafora untuk menangkap ide-ide ini. Media adalah jendela yang memungkinkan kita melihat jauh melampaui keadaan sekitar kita; penerjemah, yang membantu kita merasakan pengalaman; panggung atau pembawa, yang menyampaikan informasi; komunikasi interaktif yang melibatkan feedback audiens; pos simbol-simbol yang menyajikan instruksi dan pengarahan kepada kita; filter yang menyaring beberapa bagian pengalaman dan fokus pada lainnya; cermin yang merefleksikan kembali diri kita; dan hambatan, yang merintangi kebenaran. Joshua Meyrowits menambahkan 3 metafora tambahan– media sebagai saluran, bahasa, dan lingkungan.   
Beberapa teori menekankan struktur intrinsik dari perangkat media dan pesan-pesan media. Perhatian khusus disini adalah sisi “pengiriman” dari proses komunikasi massa, atau apa yang sebenarnya dihasilkan oleh produser media. Istilah yang umum digunakan bagi proses umum ini adalah encoding. Encoding adalah penerjemahan dari tujuan, maksud, atau makna ke dalam simbol atau kode. Biasanya simbol-simbol ini adalah huruf, angka, dan kata-kata yang membentuk bahasa seperti bahasa Inggris. Tapi tentu saja, encoding dapat berupa foto-foto, notasi musik, gambar atau film bergerak. 
Para peneliti media menguraikan dua wajah komunikasi massa. Satu wajah melihat peran media terhadap masyarakat yang lebih besar dan lembaga-lembaganya. Para ahli tertarik dalam hubungan media-masyarakat yang berhubungan dengan cara media dilekatkan dalam struktur masyarakat dan pengaruh yang saling menguntungkan antara struktur sosial masyarakat yang lebih besar dan media. Ini adalah sisi makro dari teori komunikasi massa.
Wajah kedua melihat melalui orang, sebagai kelompok dan individu-individu. Wajah ini merefleksikan keterhubungan antara media dan audiens. Para ahlinya tertarik pada hubungan media-audiens yang berfokus pada efek pada kelompok dan individu dan hasil-hasil dari transaksi media. Ini adalah sisi mikro dari teori komunikasi massa.
1.    Isi dan Struktur Media, beberapa teori telah menekankan pada struktur instrinsik property media dan pesan-pesan media. Dengan perhatian khusus pada sisi “pengiriman” dari proses komunikasi, atau apa yang sebenarnya dihasilkan oleh produser media. Istilah bagi proses umum ini adalah encoding. 
Innis melihat media komunikasi sebagai perluasan pemikiran dan kepercayaan manusia yang merupakan ketertarikan utama dari setiap periode sejarah adalah bias yang dihasilkan dari dominasi penggunaan media. Dengan kata lain apa yang terjadi dan nampak signifikan dalam sebuah periode sejarah, ditentukan oleh media.  Media berat seperti perkamen, tanah liat, atau batu, bersifat abadi dan karenanya terikat waktu. Karena mereka memfasilitasi komunikasi dari satu generasi ke generasi, media ini dibiaskan melintasi tradisi. Sebaliknya, media yang terikat ruang seperti kertas, seperti kertas yang ringan dan mudah ditransportasikan, sehingga mereka memfasilitas komunikasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya, membantu perkembangan pada gedung raksasa, birokrasi besar, dan militer.  Pidato sebagai medium, karena pidato menghasilkan sebuah suara pada saat yang bersamaan, mendorong orang untuk mengorganisasikan pengalamannya secara kronologis. Pidato  juga memerlukan pengetahuan dan tradisi dan karenanya mendorong persamaan dan hubungan. Media tertulis, yang diatur secara spasial, menghasilkan jenis budaya yang berbeda. Efek penulisan yang terikat ruang, menghasilkan ketertarikan dalam otoritas politik dan pertumbuhan kerajaan sepanjang daratan. Mc Luhan jauh melampaui Innis dalam membahas tentang struktur media. Hipotesis utama McLuhan adalah orang-orang beradaptasi dengan lingkungan mereka melalui keseimbangan atau rasio akal sehat, dan medium utama dari usia membawa rasio tertentu dari akal pikiran, yang karenanya mempengaruhi persepsi. McLuhan melihat setiap medium sebagai perluasan dari beberapa kemampuan manusia, memperluas kegunaan. Roda adalah perluasan dari kaki. Buku adalah perluasan dari mata. Pakaian adalah perluasan dari kulit. Sirkuit listrik adalah perluasan sistem pusat syaraf. Sebelum pencetakan ditemukan, sebuah suku manusia yang berkomunikasi dengan berorientasi pada pendengaran, tertutup secara emosional dan interpersonal. Bagi suku tersebut, “apa yang didengar itulah yang dipercaya”. Tapi penemuan pencetakan mengubah semua itu. Era Gutenberg membawa makna baru akal sehat kepada “berada”, dimana penglihatan mendominasi. Perkembangan pencetakan dalam budaya barat memaksa orang untuk berpersepsi linear, logis, dan kategoris. Bagi McLuhan, penggunaaan alphabet “membantu dan mendorong kebiasaan untuk merasakan lingkungan dalam makna visual dan spasial-khususnya dalam pengertian ruang dan waktu yang bersamaan, terus menerus dan terhubung. Kita telah memasuki era baru, manurut McLuhan. Teknologi elektrik telah mengembalikan dominasi pendengaran. Teknologi Gutenberg menciptakan ledakan dalam masyarakat, memisahkan dan mengelompokkan individu, tapi era elektronik telah menciptakan ledakan, menyatukan kembali dunia kedalam “Desa Global”. Sebagai hasilnya, hal tersebut memaksa kita untuk mempertimbangkan dan mengevaluasi kembali secara praktis, setiap pikiran, tindakan, dan setiap tindakan lembaga yang dulunya dianggap benar. McLuhan menggambarkan dampak ini: sirkuit elektrik sangat melibatkan manusia satu sama lain. Informasi menerjang kita secara instan dan terus menerus. Seketika informasi diperoleh, sangat cepat digantikan dengan informasi yang lebih baru. Dunia kita yang terkonfigurasi secara elektris, memaksa kita untuk bergerak dari kebiasaan terhadap klasifikasi data kepada model pengenalan pola. Kita tidak dapat lagi membangun secara serial, blok per blok, langkah demi langkah, karena komunikasi instan menjamin bahwa semua faktor lingkungan dan pengalaman berdampingan dalam makna peran yang aktif yang saling mempengaruhi.
Jika McLuhan punya cukup umur untuk melihat datangnya TV interaktif dan jalur bebas hambatan elektronis, apa yang akan dikatakannya tentang hal ini. McLuhan mungkin dikenal dengan perkataannya bahwa “Medium adalah Pesan”. Frase yang aneh dan memicu pemikiran ini, menyoroti pengaruh umum dimana media terpisah dari isinya. Tom Wolfe mengatakan hal ini: jika jaringan tidak memutarkan siaran sadis selama 24 jam penuh seorang koboi merontokkan gigi orang, isi media bukanlah masalah. 
Di sini, tentu saja McLuhan memisahkan perusahaan dari kebanyakan peneliti komunikasi massa kontemporer, yang percaya bahwa isi sangatlah berpengaruh. Tapi McLuhan menekankan bahwa apa yang benar-benar membuat perbedaan dalam kehidupan seseorang adalah dominasi media, bukan isinya, pada sebuah periode: “Mereka meresapi konsekuensi personal, politis, ekonomis, estetika, psikologis, moral, etika, dan sosial yang tak satupun bagian dari kita yang mereka biarkan tak tersentuh, tak terpengaruh, dan tak berubah. Pada tahun 1970-an McLuhan mengajarkan suatu perubahan. Pada masa awalnya, dia sangat menekankan bahwa bentuk media dalam masyarakat mempengaruhi atau menyebabkan beberapa model persepsi tertentu pada sebagian anggota masyarakat. Diakhir masanya, dia nampaknya kurang pasti akan keterhubungan sebab-akibatnya. Sebaliknya, McLuhan mengatakan bahwa media menggemakan atau merefleksikan kategori penerimaan dari individu. Daripada memimpikan hubungan sebab akibat dari media dan persepsi personal, belakangan, dia secara simultan nampak mencurahkan beberapa bentuk pemikiran tertentu pada bagian dari media dan manusia. Bentuk media tidak menyebabkan tapi membawa model pemikiran yang telah ada dalam individu. Kelangkaan konsistensi antara kategori konsistensi penerimaan individu dan pelukisan media, menciptakan stress dimasyarakat.

2.    Sekarang kita beralih kepada teori yang sangat berbeda dari struktur media. Dimana McLuhan mengajarkan bahwa bentuk media itu sendiri menciptakan dampak primer bagi komunikasi massa, semiotik membuat pemisahan yang tajam antara medium dan isinya. Bagi para ahli semiotik, isi merupakan hal yang sangat penting, dan isi bergantung pada catatan yang diberikan oleh produser atau konsumen. Semiotik berfokus pada cara produser menciptakan tanda dan cara audiens memahami tanda-tanda tersebut. Benar, perbedaan media memungkinkan tipe tanda yang berbeda, tapi semiotik berfokus pada tanda dalam pesan yang membedakan area studi ini. Semiotik adalah studi tentang pengertian, atau cara tanda digunakan untuk menginterpretasikan kejadian. Karenanya, menjadi sebuah alat untuk menganalisa isi pesan media. Fry and Fry menyusun pembahasan mereka ke dalam 3 postulat. Pertama, pesan-pesan media dapat mendatangkan beberapa makna, sehingga sebuah text dapat dipahami dengan berbagai cara. Produser media bermaksud untuk menyampaikan makna-makna tertentu dalam karya mereka, tapi audiens mungkin atau mungkin tidak memperoleh makna yang sama. Berikut video musik sebagai contoh:

Sebuah video music berguna untuk mengilustrasikan bahwa ekspresi tertentu dapat dihubungkan dengan beberapa isi untuk menghasilkan pengertian yang berbeda. Bagi remaja, video mungkin dianggap sebagai pernyataan perlawanan atas pembatasan melewati masa keremajaan nampak membawa atau sebagai gambaran pemberontakan individual menolak angkuhnya kesepakatan sosial. Peneliti media mungkin meneliti saluran transmisi dari gambaran kekerasan kepada audiens. Seorang eksekutif perusahaan rekaman mungkin melihat video yang sama sebagai alat promosi efektif yang mempunyai dampak positif bagi penjualan rekaman. Dalam pengertian budaya, video musik adalah ekspresi yang menandakan makna yang berbeda dari tiap-tiapnya karena dibuat dengan perencanaan isi yang juga berbeda.
Pada saat yang sama, reaksi audiens tidaklah acak. Namun, produser melakukan beberapa upaya untuk memprediksikan reaksi audiens dan untuk menggunakan tanda-tanda yang akan membentuk reaksi tersebut. Iklan komersial adalah contoh yang utama. Walaupun interpretasi audiens akan bervariasi, iklan tentu saja ditujukan untuk memperoleh makna yang dominan dan respon tertentu. Tetap saja, produser tidak bisa dan tidak selalu memprediksi respon audiens, dan akan selalu ada segmen audiens yang memberikan makna yang aneh mereka akan apa yang mereka baca, dengar, dan lihat.
Seniman media post modern tertentu melakukan hal yang ekstrim untuk menghindari makna tunggal. Madonna adalah contoh seorang artis yang bekerja untuk melenyapkan setiap makna dominan dengan memproyeksikan berbagai makna yang memungkinkan  dalam hasil karyanya. Vokal dan gambaran video Madonna sangatlah beragam dari satu video ke video lainnya, dan bahkan satu video biasanya memungkinkan makna yang kontradiktif.
Denotasi dan konotasi adalah konsep utama dalam semiotik. Denotasi menunjuk kepada apa yang ditunjukkan sebuah tanda. Hampir semua konsumer yang terpelajar dalam budaya akan memahami denotasi sebuah makna. Anda tahu tanpa memikirkannya, apa makna logo Coke. Apa yang membuat interpretasi bervariasi, bukanlah denotasi tapi konotasi, atau perasaan, penilaian, dan perhitungan yang anda buat tentang isi media. Setiap orang mengetahui bahwa logo Coke merujuk kepada apa, tapi orang akan menambahkan semua bentuk makna konotatif yang berbeda terhadap logo tersebut. Ketika denotatif stabil, konotatif bervariasi karena berdasarkan pada kesimpulan atau perluasan dari denotasi. Produser media mencoba tidak hanya menyajikan denotasi tapi juga mempengaruhi konotasi berikutnya.
Sebuah contoh denotasi dan konotasi dapat dilihat pada analisa semiotik oleh Farrel Corcoran tentang Penerbangan Korea nomer 007 pada tahun 1983. KAL 007, perusahaan komersial yang memasuki angkasa Soviet, ditembak oleh tentara Soviet, dan semua penumpang terbunuh. Corcoran menganalisa laporan mengenai kejadian ini dari 3 majalah utama, Time, Newsweek, dan U.S. News and World Report. Khususnya, dia tertarik pada makna yang menyertai peristiwa, cara kejadian digunakan oleh majalah-majalah ini sebagai simbol. Pengarang memperlihatkan bagaimana majalah menyajikan interpretasi dari bencana yang serupa. Dan bagaimana menolak konotasi bahwa Uni Soviet adalah negara yang jahat.
Dengan menggunakan “mungkin bahasa yang paling tajam dalam sejarah mereka,” majalah berita ini membuat hubungan yang kuat antara kecelakaan udara dengan keseluruhan sistem Soviet.  Ini adalah contoh metonymy atau menggunakan bagian dari sesuatu untuk menyimbolkan keseluruhan. Stereotype Rusia digunakan dalam keseluruhan laporan kepada efek bahwa orang Rusia membosankan, tidak sensitif secara politis, tirani, dan barbar. Singkatnya, kecelakaan tersebut digunakan sebagai “simbol penyingkatan” bagi polarisasi antara Uni Soviet yang jahat dan bagian dunia lainnya.
Dalil Fry dan Fry yang pertama, kemudian, adalah bahwa media dapat mendatangkan sejumlah makna. Dalil kedua adalah bahwa pesan media memperoleh maknanya dengan hubungan yang dibuat anggota audiens. Komunikasi dimungkinkan oleh konsensus atas makna, atau apa yang disebut Peirce “interpretasi final”. Tapi ini hanya satu makna. Anggota audiens mungkin juga mempunyai perasaan personal yang berhubungan dengan isi (interpretasi emosional), sebuah hubungan yang berhubungan seperti compliance (interpretasi energik), atau sebuah rasionalisasi mengenai mengapa tindakan tertentu masuk akal (interpretasi logis).
Pada pertengahan pemilihan di Amerika Serikat tahun 1994, partai Republik memegang kendali Kongres untuk pertama kalinya dalam 40 tahun. Ulasan media tentang kejadian ini adalah contoh khusus yang baik dari beragam level makna. Pesan umumnya adalah Republik akan mendominasi politik nasional. Ini mungkin kita namakan interpretasi final. Banyak pemilih dibuat senang akan prospek tersebut (interpretasi emosional) dan tidak sabar menunggu untuk memilih presiden dari kubu Republik pada pemilu berikutnya (interpretasi energik). Ada juga perasaan di antara mereka bahwa perubahan fundamental akan terjadi sebagai hasil dari pemillu (interpretasi logis).
Penelitian Corcoran tentang bencana KAL 007 memperlihatkan bagaimana interpretasi final tentang kejadian ini di Amerika Serikat pandangan umum bahwa Uni Soviet pada dasarnya jahat. Interpretasi emosional yang utama pada saat itu adalah kemarahan, interpretasi energik adalah berbicara dan bertindak melawan Soviet terhadap perbuatan mereka, dan interpretasi logisnya adalah membuat pernyataan yang jelas tentang mengapa interpretasi ini masuk akal, namun gagal untuk memikirkan interpretesi tentang kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Dalil Fry dan Fry yang ketiga adalah bahwa makna dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di luar pesan itu sendiri. Tanda digunakan dalam text untuk memainkan peran dalam membentuk makna, tapi sejumlah pengaruh nontextual juga muncul pada makna yang diperoleh individu dari text. Text akan berpengaruh jika (1) produser memahami jenis isi yang akan membawa makna tertentu dalam budaya audiens dan (2) text yang aktual menekankan pada makna tertentu dari lainnya.
Contohnya, seorang produser sitkom mungkin berharap mendapatkan perasaan hangat dan menghibur dari karakter yang ada. Menyadari tipe situasi yang muncul dari audiens Amerika, membantu penulis membangun situasi yang memunculkan respon semacam ini. Lebih jauh, penulis dan aktor akan berkonsentrasi untuk menekankan pada perasaan tertentu dari tiap karakter yang akan memperoleh perhatian dari audiens.
Kecelakaan KAL 007 mengilustrasikan cara media menyuarakan perasaan publik Amerika pada saat itu. Media bertindak sebagai agen virtual dari pemerintah dalam mengabadikan ideologi jahat lawan baik dalam laporan mereka tentang kecelakaan tersebut. Majalah berita mengabaikan, menganggap tidak penting, atau menghilangkan interpretasi alternatif yang biasanya ditemukan dalam pers luar negeri – ide bahwa KAL 007 adalah misi militer yang dikirim untuk mengetahui kekuatan musuh. Interpretasi kemudian tidak terbukti, ketika file Rusia dibuka ketika kepada dunia di awal 90-an.
Sasaran media adalah untuk memperoleh perhatian dari audiens. Bagaimana hal ini dilakukan? Salah satu caranya adalah menggunakan tanda untuk menekankan pada sifat tertentu dan membuat sifat lainnya netral, sebuah proses yang dinamakan penyingkapan semantik. Diluar dari segala sesuatu yang bisa dilihat oleh seseorang dalam sebuah pesan, beberapa hal ditonjolkan dan lainnya dibungkam, dan hal tersebut makna yang dikomunikasikan. Penyingkapan  semantik dalam sitkom mungkin dicapai dengan  kostum karakter, menggunakan ekspresi tertentu dalam dialog, dan sikap non verbal. Kenyataannya, melakukan stereotype adalah jenis penyingkapan semantik yang penting dalam pesan media, sebagaimana dapat dilihat pada laporan KAL 007.
Sekali lagi, bagaimanapun, respon audiens tidak seluruhnya bisa diprediksi. Tentu saja, beberapa “kode ekstra” atau faktor luar, dapat mempengaruhi makna. Pemaknaan yang berlebih terjadi ketika makna normalnya menyertai satu macam pesan atau situasi, digunakan untuk menginterpretasi pesan lainnya. Contohnya, pada hari Natal, Hallmark merilis iklan kartu Natal yang hanya melukiskan pemandangan indah tanpa menyinggung tentang produknya (kartu). Pemirsa tetap akan mengerti bahwa perusahaan berusaha untuk menjual produknya, karena interpretasi standar yang diberikan pada iklan lainnya. Hal ini terjadi ketika ideologi pemirsa mempengaruhi interpretasi terhadap pesan, bahkan jika interpretasi ideologi tidak diinginkan. Misalnya, seorang feminis mungkin mempertimbangkan beberapa sasaran tertentu yang bisa dicapai karena mereka menggambarkan perempuan dalam peran yang subordinat, seorang marxis mungkin melihat berita jaringan televisi sebagai instrument penindasan, atau pemimpin serikat mungkin membaca Jurnal Wall Street sebagai organ penting dalam manajemen industri.
Semiotik adalah cara yang popular dan berguna untuk menganalisa pesan spesifik media. Tapi ada beberapa perhatian lain terhadap media sebagaimana juga terhadap peneliti tentang media. Beberapa yang akan dibahas adalah media sebagai lembaga sosial serta media dan audiens.

Media Sebagai Lembaga Sosial
Media lebih dari sebuah mekanisme sederhana bagi penyebaran informasi. Media adalah organisasi kompleks dan lembaga sosial yang penting dalam masyarakat. Mungkin teori terpenting yang ditujukan untuk aspek kelembagaan media adalah teori kritis marxis. Mengingat teori kritik dihubungkan dengan distribusi kekuatan dalam masyarakat dan  dominasi kepentingan tertentu dari lainnya. Jelasnya, media adalah pemain utama dalam perjuangan ideologis ini. Ideologi yang dominan dapat diabadikan oleh media, sebagaimana terlihat dalam kasus laporan berita tentang bencana KAL 007.
Kebanyakan teori kritik komunikasi dihubungkan dengan media massa, utamanya karena potensi media untuk menyebarluaskan idelogi dominan, dan potensi mereka untuk mengekspresikan ideologi alternatif maupun yang bertentangan. Bagi sebagian pakar teori kritik, media adalah bagian dari industri budaya yang benar-benar menciptakan simbol dan gambaran yang dapat menindas kelompok-kelompok marginal.        
Menurut McQuail, ada lima cabang utama teori media Marxis. Pertama, Marxisme klasik. Disini, media dipandang sebagai instrument dari kelas dominan dan alat dengan mana kaum kapitalis berpromosi demi peningkatan keuntungannya. Media menyebarkan ideologi dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat dan pada akhirnya menindas kelas-kelas tertentu.
Kedua, adalah teori politik-ekonomi media, dimana, seperti Marxis klasik, menyalahkan kepemilikan media terhadap penyakit masyarakat. Dalam kelompok pemikiran ini, isi media adalah komoditas yang harus dijual di pasar, dan penyebaran informasi dikendalikan oleh apa yang akan ditanggung pasar. Sistem ini membawa kepada operasi yang konservatif, tanpa resiko, membuat beberapa bentuk program dan outlet media tertentu yang dominan dan lainnya terpinggirkan.
Bagian ketiga dari teori adalah Kelompok Frankfurt.  Kelompok pemikiran ini, memandang media sebagai alat mengkonstruksi budaya, menempatkan lebih banyak penekanan pada ide daripada barang-barang material. Dengan cara berpikir ini, media menuju kepada dominasi ideologi elit. Hasil ini diperoleh dengan manipulasi media pada gambar dan simbol untuk menguntungkan kepentingan kelas dominan.
Kelompok keempat adalah Teori Hegemoni. Hegemoni adalah dominasi ideologi yang dibuat-buat atau cara berpikir melalui kondisi yang sebenarnya. Idelogi tidak disebabkan sistem ekonomi semata tapi juga terikat kuat pada semua aktifitas dalam masyarakat. Lalu, ideologi tidak dipaksakan oleh sebuah kelompok kepada lainnya tapi meresap dan tidak disadari. Ideologi yang dominan mengabadikan kepentingan kelas tertentu di atas lainnya, dan media tentu saja memegang peran utama dalam proses ini.
Pendekatan akhir dari studi media Marxis adalah pendekatan sosiokultural, biasanya hanya dinamakan “studi kultural”. Bersandar pada sejumlah besar semiotik, kelompok ini tertarik dalam makna kultural dari produk-produk media, melihat cara isi media diinterpretasi, termasuk interpretasi dominan dan oposisional. Studi kultural melihat masyarakaat sebagai bidang persaingan ide-ide dalam perjuangan di antara makna-makna. Studi Corcoran pada laporan berita tentang kecelakaan KAL 007 berada pada tradisi studi kultural. Studi kultural menjadi pendekatan yang sangat popular dan berguna, dan dapat digunakan untuk mengintegrasikan gagasan dari berbagai kelompok pemikiran.

Media Dan Audiens
Tidak ada area dalam media yang menyajikan kebingungan dan debat sebagaimana studi tentang audiens. Pakar media jauh dari sepakat tentang bagaimana mengkonseptualisasikan audiens dan efek-efek audiens. Perselisihan tentang sifat audiens nampaknya melibatkan dialektika yang saling berhubungan. Pertama, adalah ketegangan antara ide bahwa audiens adalah publik massa versus ide bahwa audiens adalah adalah komunitas kecil. Kedua, adalah ketegangan antara ide bahwa audiens sifatnya pasif dan kepercayaan bahwa audiens sifatnya aktif.  Mari kita simak perdebatan diantara keduanya.

A.   Masyarakat Massa versus Komunitas
Kontroversi ini melibatkan melibatkan opini yang berbeda tentang audiens. Beberapa memandang audiens sebagai massa yang tanpa perbedaan, dan beberapa memandang audiens beranekaragam dari kelompok kecil atau komunitas. Dalam kasus sebelumnya, audiens dipandang sebagai populasi besar yang dapat dibentuk oleh media. Pada kasus berikutnya, audiens dipandang sebagai anggota diskriminatif dari kelompok yang sangat dipengaruhi oleh sebaya mereka.
Teori dari masyarakat massa adalah konsep yang tumbuh dari negara modern yang besar, kompleks, bersifat birokratis. Teori ini memimpikan sebuah kelompok massa yang bisa ditundukkan dimana pengelompokan yang kecil, kehidupan komunitas, dan identitas etnik ditempatkan kembali oleh hubungan masyarakat tanpa personalisasi. Konsepsi tentang masyarakat ini telah membawa kepada kritik yang menyebar luas tentang kehidupan modern dan media. Kritik tentang masyarakat massa telah menyuguhkan beberapa proposisi.
Pertama, perkembangan pesat dalam tranportasi dan komunikasi telah meningkatkan kontak antar manusia, dan pertimbangan ekonomi telah membuat orang-orang semakin saling bergantung. Kemudian, seperti sebuah sistem raksasa, ketidakseimbangan di salah satu bagian mempengaruhi keseluruhan. Ironisnya, kita menjadi semakin saling bergantung, pada saat yang sama menjadi asing satu sama lain. Ikatan komunitas dan keluarga rusak, dan nilai-nilai lama dipertanyakan.
Kedua, karena masyarakat tidak lagi percaya untuk dipimpin oleh elit, moral, citarasa, dan kemunduran nilai. Perubahan yang cepat dalam masyarakat melemparkan pria dan wanita ke dalam situasi peran ganda, menyebabkan kehilangan pengertian akan diri. Orang-orang menjadi lebih khawatir, dan seorang pemimpin karismatik pada akhirnya mungkin diminta untuk mengangkat masyarakat dari jurang yang dalam.
Pandangan yang suram tentang teori masyarakat massa mempunyai beberapa implikasi bagi media massa dari komunikasi. Kritik tentang masyarakat massa, mengkhawatirkan bahwa pikiran akan digempurkan dan diubah melalui propaganda media. Sebagaimana dinyatakan oleh Paul Lazarfeld dan Robert Merton: “bahaya bahwa kemajuan instrument teknis komunikasi massa merupakan jalan utama kemerosotan cita rasa estetika dan standar budaya popular.
Menambahkan tesis ini bahwa media mengaburkan batas-batas sosial dan divisi komunikasi yang sebelumnya memberikan stabilitas dan makna bagi kehidupan warga negara. Joshua Meyrowitz menuliskan dalam bukunya No Sense Of Place bahwa televisi telah menyebabkan kita kehilangan rasa akan batas-batas, antara privat dan publik, antara fisik dan sosial, dan antara kelompok-kelompok sosial. Secara esensial orang kehilangan “tempat” mereka di dunia.
Teori masyarakat massa tetap popular diantara populasi umum. Walaupun teori ini tidak lazim di antara para peneliti seperti beberapa dekade yang lalu, teori ini masih punya pengaruh. Pada sisi yang lain, perselisihan masyarakat-massa adalah posisi dimana audiens tidak bisa dikarakteristikkan sebagai massa tak berbentuk, audiens terdiri atas sejumlah masyarakat yang sangat berbeda, dengan nilai, ide-ide dan kepentingannya masing-masing. Isi media diinterpretasikan dalam masyarakat menurut makna yang dipegang secara sosial dalam kelompok tersebut, dan individu lebih dipengaruhi oleh teman bergaul dari pada media.

B.    Audiens Aktif versus Audiens Pasif
Kontroversi lainnya adalah audiens aktif dan audiens pasif. Pandangan audiens pasif menyatakan bahwa orang dengan mudah dipengaruhi secara yang langsung oleh media, sementara pandangan audiens aktif menyatakan bahwa orang membuat keputusan-keputusan yang lebih aktif tentang bagaimana menggunakan media. Bagi sebagian besar, teori masyarakat massa cenderung untuk menganut pada konsep audiens pasif, walaupun tidak semua teori audiens pasif dapat secara sah disebut teori masyarakat massa. Demikian pula, kebanyakan teori masyarakat menganut paham audiens aktif.
Ide tentang audiens ini dihubungkan dengan berbagai teori efek media. Teori “efek yang kuat” cenderung berbasis pada audiens pasif, dimana teori “efek minimal” berbasis pada audiens aktif.
Frank Biocca membicarakan lima karakteristik audiens aktif, dinyatakan secara tidak langsung oleh teori-teori dari genre ini. Pertama adalah selektifitas. Audiens aktif dianggap selektif akan media yang mereka pilih untuk digunakan. Karakteristik kedua adalah utilitarianisme. Audiens aktif dikatakan menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan sasaran tertentu. Karakteristik ketiga adalah maksud, dimana menyatakan secara tidak langsung penggunaan isi media untuk maksud tertentu. Karakteristik keempat adalah keterlibatan, atau upaya. Disini, audiens secara aktif hadir, memikirkan, penggunaan media. Akhirnya, audiens aktif percaya tidak mempan dipengaruhi, atau tidak mudah dibujuk oleh media semata.

Penutup
Komunikasi massa adalah separuh keterampilan, separuh seni, dan separuh ilmu pengetahuan. Dia merupakan keterampilan karena melibatkan beberapa teknik dasar yang dapat dipelajari seperti berfokus pada kamera televisi, mengoperasikan perangkat audio, dan mencatat selama wawancara. Dia merupakan seni karena melibatkan tantangan kreatif seperti menulis sebuah skrip untuk dokumentasi televisi, membuat layout yang menarik dan menyenangkan untuk iklan majalah, dan datang dengan ulasan yang menarik dan tegas. Komunikasi merupakan ilmu pengetahuan karena beberapa variabel prinsipil dilibatkan demi mencapai tujuan-tujuan komunikasi yang lebih efektif.
Beberapa teori menekankan struktur intrinsik dari perangkat media dan pesan-pesan media. Perhatian khusus disini adalah sisi “pengiriman” dari proses komunikasi massa, atau apa yang sebenarnya dihasilkan oleh produser media. Istilah yang umum digunakan bagi proses umum ini adalah encoding. Encoding adalah penerjemahan dari tujuan, maksud, atau makna ke dalam simbol atau kode. Biasanya simbol-simbol ini adalah huruf, angka, dan kata-kata yang membentuk bahasa seperti bahasa Inggris. Tapi tentu saja, encoding dapat berupa foto-foto, notasi musik, gambar atau film bergerak.  
Media tentu saja secara tidak langsung bermakna mediasi karena mereka berada di antara audiens dan dunia. Denis McQuail mengemukakan beberapa metafora untuk menangkap ide-ide ini. Media adalah jendela yang memungkinkan kita melihat jauh melampaui keadaan sekitar kita; penerjemah, yang membantu kita merasakan pengalaman; panggung atau pembawa, yang menyampaikan informasi; komunikasi interaktif yang melibatkan feedback audiens; pos simbol-simbol yang menyajikan instruksi dan pengarahan kepada kita; filter yang menyaring beberapa bagian pengalaman dan fokus pada lainnya; cermin yang merefleksikan kembali diri kita; dan hambatan, yang merintangi kebenaran. Joshua Meyrowits menambahkan 3 metafora tambahan– media sebagai saluran, bahasa, dan lingkungan.   
Frank Biocca membicarakan lima karakteristik audiens aktif, dinyatakan secara tidak langsung oleh teori-teori dari genre ini. Pertama adalah selektifitas. Audiens aktif dianggap selektif akan media yang mereka pilih untuk digunakan. Karakteristik kedua adalah utilitarianisme. Audiens aktif dikatakan menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan sasaran tertentu. Karakteristik ketiga adalah maksud, dimana menyatakan secara tidak langsung penggunaan isi media untuk maksud tertentu. Karakteristik keempat adalah keterlibatan, atau upaya. Disini, audiens secara aktif hadir, memikirkan, penggunaan media. Akhirnya, audiens aktif percaya tidak mempan dipengaruhi, atau tidak mudah dibujuk oleh media semata.
Banyak peneliti media percaya bahwa masyarakat massa dan dikotomi aktif-pasif terlalu sederhana, mereka tidak menangkap kompleksitas audiens yang sebenarnya. Mungkin saja audiens memiliki beberapa elemen dari masyarakat lokal. Audiens mungkin saja aktif pada suatu waktu dan pasif diwaktu lainnya. Daripada menanyakan apakah audiens mudah dipengaruhi oleh media, mungkin lebih baik menanyakan kapan dan dalam kondisi apa mereka terpengaruh dan kapan tidak. Pandangan ini mengubah debat dari tentang apa audiens sebenarnya, kepada maknanya bagi orang pada waktu yang berbeda dan tempat yang berbeda.

 Daftar Rujukan

Bittner, John R. Mass Communication, An Introduction, New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs, 1986
Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication, California: Wadsworth Publishing Company, 1996.
Longman: Dictionary Of Contemporary English, Edinburgh: Pearson Education Limited, 2001.
Nuruddin. Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Rachmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.