skip to main | skip to sidebar

MEDIA MASSA DAN MASYARAKAT


Oleh Hamdani Thaha



Abstrak : The present of mass media in society generate various impact, both for negative and also positive. Expected by negative impact of media like penetration of Western civilization values, can be reduce various value and cultural from outside with abilityy society itself to become the net for a cultural resilience and local wisdom. Expected also for jurnalist to be presentation order through mass media pay attention to the code of etik and religion values so that can lessen the negative impact from media.

Kata kunci :  media massa, efek, afektif, kognitif, konatif, pers, hegemoni.

Pendahuluan
Teknologi komunikasi massa sering dijuluki sebagai faktor penentu perubahan yang kehadirannya tidak bisa dibendung. Makin mendekati abad 21 makin banyak perubahan yang terjadi akibat pengaruh kemajuan teknologi komunikasi. Proses pengaruh ini tidak berjalan pada satu bidang saja, tetapi juga merambah kebidang-bidang lain dalam kehidupan manusia. Maka teori tentang efek komunikasi massa sekitar permulaan abad ke-20 menyatakan bahwa individu sangat dipengaruhi secara langsung oleh pesan-pesan media utamanya dalam bentuk pendapat umum. Kemudian tahun 1950-an efek media dipandang sangat sedikit, tetapi setelah tahun 1970-an para sarjana datang kembali meneliti dimana khalayak ramai dianggap sangat dipengaruhi oleh media massa.
Para ahli dalam dasawarsa 1950 dan 1960 menaruh harapan besar pada potensi media massa untuk meningkatkan pembangunan. Media massa memiliki kemapuan yang besar untuk menyebarkan pesan-pesan pembangunan kepasa banyak orang. Yang tinggal di tempat terpisah dan tersebar, secara serentank dengan kecepatan tinggi. Oleh karena itu media massa dijuluki sebagai “pengganda ajaib” (Rogers, et,al., 1985:184).
Pada masa pra komunikasi media massa, umumnya orang bergantung kepada orang-orang lain untuk mencatat, menafsirkan, menyampaikan pesan-pesan kepadanya dengan cara yang amat pribadi. Zaman komunikasi massa tiba ketika orang-orang telah mampu menciptakan mesin reproduksi yang dapat menggantikan komunikator pribadi dan melipatgandakan pesan-pesannya. Maka setelah perkembangan media massa sebagai sarana informasi di Indonesia, tidak terlepas dari jalannya pembangunan nasional di segala sektor kehidupan masyarakat. Kecenderungan misi media massa pada posisi terpenting dalam perumusan pola kebijakan pembangunan nasional untuk itu harus di topang institusi, pengontrol serta perangkat aturan lain, yang jelas konsep dan pelaksanaanya (kode etik media massa). Terjadinya penyimpangan kode etik pada media massa disebabkan oleh lemahnya kontrol terhadap media massa serta tidak dilaksanakannya secara tegas UU untuk kode etik yang dibuat agar tidak terjadi efek media massa yang negatif dan dapat menyebabkan ketimpangan dalam agama. Tulisan ini akan mengungkapkan mengenai efek yang ditimbulkan oleh media massa  dan bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat.

Pengertian Media Massa
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Istilah “massa”mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk, yang komponennya  sulit dibedakan satu sama lain (McQuail, 1994: 31). Menurut kamus bahasa Inggris ringkas memberikan definisi “massa” sebagai suatu kumpulam orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas”.
Jika khalayak tersebar tanpa diketahui dimana mereka berada, maka biasanya digunakan media massa. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber ke penerima dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi. Adapun karakteristik media massa menurut Hafied Cangara (1998: 134-135) adalah:
1.    Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi.
2.    Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Kalau toh terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
3.    Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama.
4.    Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, film dan semacamnya.
5.    Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa.
Jadi, media massa adalah industri dan teknologi komunikasi yang mencakup surat kabar, majalah, radio, televisi dan film. Istilah ‘massa’ mengacu pada kemampuan teknologi komunikasi untuk mengirimkan pesan melalu ruang dan waktu dan menjangkau banyak orang.

Efek Media Massa
Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan. Efek afektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap). Sedangkang efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Meskipun dimensi-dimensi efek ini berhubungan satu sama lain, ketiganya juga independen satu sama lain. Sebagai contoh meningkatnya pengetahuan tentang suatu isu tidak selalu diikuti oleh perubahan attitude (Bem dalam Amri Jahi, 1993: 31).
Dalam hampir seluruh tindakan komunikasi, efek yang sangat dikehendaki ialah yang bertalian dengan belajar, sikap dan perilaku. Survey kowledge, attitude, and Practice (KAP) yang banyak dilakukan oleh badan-badan bantuan internasional biasanya berkaitan juga dengan efek-efek ini (Rogers dalam Amri Jahi, 1993:32). Komunikasi dapat menimbulkan efek yang berbeda-beda. Orang-orang tertentu mungkin belajar lebih banyak daripada yang lain, dan dalam difusi inovasi, sejumlah kecil orang cenderung untuk mengadopsi inovasi lebih dahulu dari pada yang lainnya. Perbedaan dalam tambahan pengetahuan, attitude, dan perubahan perilaku dapat menimbulkan “kesenjangan efek komunikasi” (Shingi dan Mody, 1976: 171). Perbedaan-perbedaan dalam belajar diantara bebagai segmen khalayak telah diketahui dalam studi-studi awal komunikasi. Sebagai contoh, Hyman dan Sheatsley (1947: 412) menulis tentang orang-orang yang selalu tidak tahu apa-apa dalam review mereka tentang kampanye-kampanye informasi publik.
Minat pada belajar diferensial hidup kembali ketika Tichenor dan kawan-kawannya (1970:159) mengusulkan “hipotesis kesenjangan pengetahuan”. Mereka menjelaskan bahwa “ketika informasi yang masuk melalui media massa ke dalam suatu sistem sosial meningkat, segmen-segmen populasi itu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung untuk memperoleh informasi ini lebih cepat daripada segmen-segmen yang status sosial ekonominya lebih rendah, sehingga kesenjangan dalam pengetahuan di antara segmen-segmen ini cenderung meningkat daripada berkurang”.
Kesenjangan pengetahuan ini tidak bersifat absolut, melainkan relatif. Kelompok-kelompok dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah tidaklah sepenuhnya tidak memiliki informasi, tetapi cenderung kurang tahu daripada kelompok-kelompok yang status sosial ekonominya lebih tinggi. Ketika kesenjangan pada satu topik informasi tertutup, kesenjangan baru mungkin terbentuk pada isu-isu yang lain, yang kelompok berstatus sosial ekonomi lebih tinggi memiliki akses yang lebih baik dari sumber-sumber informasi yang menyangkut isu tersebut.
Menurut Tichenor (1973: 45), kesenjangan efek komunikasi terjadi karena: 1) Perbedaan tingkat keterampilan berkomunikasi diantara segmen suatu khalayak secara keseluruhan, 2) Tingkat pengetahuan tentang isu yang dikuasai sebelumnya, 3) Kontak sosial yang relevan dengan orang-orang yang memiliki lebih banyak informasi, 4) Persepsi selektif, 5) Kerelevanan fungsional dan utilitas, 6) Akses yang berbeda pada sumber daya yang terbatas, 7) Bias urban pada media massa, 8) Bantuan yang tidak memadai dari badan yang melakukan intervensi sosial, 9) Kurangnya partisipasi dari khalayak sasaran dalam pembuatan keputusan dan implementasi keputusan tersbut, dan 10) Perbedaan pendidikan, minat, atau motivasi.
Pendidikan tampaknya menjadi suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Ia juga melengkapi segmen tertentu khalayak dengan keterampilan berkomunikasi yang diperlukan (Schramm dalam Jahi, 1993: 33). Penggunaan media yang tinggi juga melengkapi mereka dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dalam beberapa topik (Rogers dalam Jahi, 1993:33). Dengan demikian proses atensi, komprehensif dan retensi yang selektif selain anggapan mereka tentang penggunaan inovasi, memberikan kontribusi pada perbedaan pengetahuan, attitude, dan perilaku khalayak.
Dimensi efek komunikasi melalui media massa dapat juga ditinjau dari dimensi lain, yaitu: a) Langsung atau kondisional, b) Spesifik-isi atau umum-menyebar, c) Perubahan atau stabilitas, d) Kumulatif atau non kumulatif. e) Jangka pendek atau panjang, f) Mikro atau makro, dan g) Efek prososial atau antisosial (Chaffe dalam Amri Jahi, 1993: 34).
Pendapat umum tentang suatu efek komunikasi ialah suatu respon yang langsung, isomorfik atau satu demi satu. Dalam komunikasi media massa, hal ini menunjukkan juga suatu dampak yang segera, yang sama kemungkinannya untuk setiap orang dalam suatu khalayak, seperti pada teori peluru atau jarum suntik (McLeod dan Reeves dalam Jahi, 1993: 34). Efek mungkin spesifik sesuai dengan isi pesan atau menyebar. Peneliti dapat mempelajari efek program televisi untuk anak-anak, seperti Sesame Street di Amerika Latin dan mennetukan bagaimana program itu telah mempengaruhi kemampuan membaca dan menulis dan juga berhitung di antara penonton-penonton muda itu. Selain itu riset dapat juga bersifat lebih umum, speerti penelitian tentang dampak sosial penggunaan radio dan televisi melalui satelit di India dan Indonesia. Misalnya, dari penelitian semacam itu diketahui bahwa jadwal siaran televisi menimbulkan konflik dengan waktu shalat dan waktu belajar (Budhisantoso, 1981: 151).
Media massa sering digunakan untuk menimbulkan perubahan, yang melibatkan difusi atau suatu inovasi atau tipe lain program intervensi sosial. Di pihak lain, beberapa peneliti menggarisbawahi fungsi konservatif media massa. Mereka mengungkapkan bahwa fungsi media massa yang lebih umum ialah untuk memperkuat kepercayaan yang telah ada, attitude, dan cara mengerjakan sesuatu, daripada mendorong perubahan. Dalam melaporkan berita, beberapa peneliti berpendapat bahwa kadang kala media mendorong informasi yang memiliki potensi merusak (McLeod dan Reeves dalam Jahi, 1993: 35).
Beberapa peneliti mencoba menentukan apakah efek media kumulatif atau tidak. Sebagai contoh, terlalu banyak menonton televisi mengarah pada timbulnya gambaran tentang dunia yang menakutkan. Proses inilah yang mereka sebut sebagai mainstreaming, yang menunjukkan bahwa televisi dapat mengembangkan konsepsi realitas di antara kelompok khalayak yang berbeda (Garbner dalam Jahi, 1993: 35).
Suatu dimensi yang juga ada hubungannya ialah apakah efek tersebut jangka pendek atau jangka panjang. Dalam studi televisi di Samoa Amerika (Schramm dalam Jahi, 1993: 35), peneliti menemukan efek belajar jangka panjang di kalangan para pelajar, selain perilaku meniru. Kondisi personal dan struktural yang menyebabkan macam belajar dan modifikasi perilaku ini terjadi perlu dipelajari juga. Efek media massa juga dapat dipandang dari suatu sudut mikro, yang individu dalam suatu masyarakatnya, dijadikan unit pengamatan, atau dari sudut makro, yang isu-isu seperti pemilikan media massa dan peliputan berita, penggunaan televisi dan radio, produksi surat kabar (McLeod dalam Jahi, 1993: 35) dijadikan unit pengamatan.
Efek antisosial media massa lebih sering ditekankan daripada efek prososial mereka. Kekerasan dalam televisi Amerika Serikat dan efeknya pada keagresifan anak-anak mendapat lebih banyak publisitas daripada efek belajar program pendidikan seperti Sesame Street atau dramatisasi seperti Roots atau The Day After sekalipun (Chaffee et. al. Dalam Jahi, 1993: 35).
 Media juga memiliki efek fisik, dimana media memperkenalkan alat-alat baru rumah tangga di mana-mana di dunia, dari masa kecil seperti radio dan perekam kaset video, sampai kepada media besar seperti satelit. Di samping itu, media massa baru menggabungkan beberapa teknologi yang sudah ada. Teleteks menggunakan sinyal televisi untuk menyiarkan informasi kepada penerima khusus, sedangkan videoteks menggabungkan teknologi telepon dan komputer. Sementara itu, satelit memperlancar transmisi informasi ke wilayah yang sangat luas. Media baru ini memiliki potensi untuk membantu pelaksanaan tugas-tugas pembangunan jika digunakan secara selektif dan tepat. Ada juga efek psikologis komunikasi massa, seperti kepuasan yang diperoleh dari berbagai penggunaan media massa.
Di sisi lain terdapat konsekuensi kultural dan psikologis yang negatif dari media massa, yang merupakan ancaman terhadap kualitas kehidupan individual modern (Sonny Yuliar, 2001: 249). Terlepas dari pengaruh positif dan negatif, pada intinya media massa telah menjadi cerminan budaya tontonan bagi masyarakat dalam era informasi dan komunikasi yang semakin berkembang pesat. Karena media massa menciptakan suatu situasi dimana khalayak secara serempak memperhatikan pesan (Onong uchjana Efendy, 1991: 11).
Terdapat sejumlah cara yang ditempuh oleh media massa untuk membuat kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah bagi kita. Pertama, media massa memberitahukan dan membantu kita mengamati dunia kita, media melakukan fungsi pengawasan. Media menyediakan berita, informasi dan peringatan yang kita butuhkan untuk membuat keputusan yang trinformasi. Media juga memberitahukan kita mengenai keadaan dan kejadian yang dengan cepat.
Kedua, media massa mengatur agenda kita dan membantu menyusun kehidupan kita. Ketiga, media massa membantu kita berhubungan dengan bermacam-macam kelompok dan golongan dalam masyarakat. Keempat, media massa membantu untuk mensosialisasikan kita. Melalui media massa kita menambah apa yang susdah dipelajari mengenai perilaku dan nilai-nilai dalam pertemuan langsung dengan orang lain, media mengajar kita norma-norma dan nilai-nilai dan berperan serta dalam sosialisasi kita. Kelima, media massa digunakan untuk mengajak kita dan untuk memanfaatkan sumber-sumber pesan. Keenam, media massa adalah menghibur. Efek terpenting dari media massa adalah memperkuat sikap-sikap dan pendapat yang telah ada. Media massa juga berfungsi memantau aktivitas pemerintah (A.S. Ahmad, 1992: 36).
Dari beberapa efek positif yang ditimbulkan media massa di atas, maka dapat disimpulkan fungsi dari media itu sendiri, antara lain:
1.    Media dapat menghibur, mendidik, kontrol sosial, sebagai bahan informasi.
2.    Media massa bisa berguna bagi pendidikan dan pengembangan intelegensia.
3.    Peran media mencirikan bahwa proses interaksi manusia merupakan hal terpenting dalam masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan terhadap informasi yang berkembang.
4.    The surveilance of the environment, yaitu mengamati lingkungan.
5.    The correlation of the part of society in responding to the environment, yaitu mengadakan korelasi antara informasi data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak sasaran, karena komunikator lebih menekankan pada seleksi evaluasi dan interpretasi.
6.    Transmission of the social heritage from one generation to the next, maksudnya ialah menyalurkan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
7.    Efek ekonomis, sosial, penjadwalan kegiatan, penyalur/penghilangan perasaan tertentu, perasaan orang terhadap media (Jalaluddin Rakhmat, 1985: 217).
Disamping efek positif yang ditimbulkan media massa terdapat pula efek negatif dari media massa antara lain:
a.        Kehadiran media massa dapat membentuk tindakan seseorang keluar dari kebiasaannya.
b.       Media dapat mengancam nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat.
c.        Media dipandang sebagai ancaman, seperti meningkatkan pengangguran, meningkatkan kontrol dan pengawasan terhadap rakyat.
d.       Media merupakan faktor pengubah tatanan masyarakat.
e.        Media mengajak manusia mengganti kehidupan rilnya yang membosankan dengan sebuah pengalaman yang berantakan.
f.        Media mengubah pengalaman dan pemahaman diri manusia secara mendasar.
g.       Media dapat mempengaruhi karakter keseluruhan para remaja.
h.       Media melaporkan dunia nyata secara selektif yang mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias dan tidak cermat (Charles P. Wright, 1988: 170).

Media Massa dan Masyarakat
Media audio visual terutama televisi tidak bisa dilepaskan dari denyut nadi kehidupan masyarakat karena efeknya yang banyak mempengaruhi perilaku pemirsa. Kalau ada pertanyaan seberapa jauh pengaruh media terhadap perilaku? Maka jawabannya akan sulit, meski ada beberapa penelitian yang telah mencoba menggali hubungan antara tayangan media dengan perilaku masyarakat, tidak semua mampu mengungkap dengan gamblang hubungan tersebut akan tetapi yang pasti program-program tersebut mempengaruhi perilaku manusia.
Media mencerminkan keadaan suatu masyarakat, artinya bahwa realitas yang ada dalam masyarakat kemudian dikonstruksi kembali ke dalam  media dengan cara yang berbeda sesuai dengan kapasitas, struktur kelembagaan dan ideologi media. Semua elemen tersebut  berpadu dan membentuk gambaran tayangan yang hadir ke hadapan publik. Tidaklah mengherankan jika satu event/kejadian yang sama seperti bencana alam, kecelakaan dan kegiatan seremoni bisa dihadirkan secara berbeda. Ini disebabkan karena media mengambilnya dari sudut (angle) yang berbeda dan dipersepsikan secara berbeda pula. Bagaimanapun warna sebuah berita setidaknya ditentukan oleh wartawan di lapangan, redaktur, kebijakan redaksional, visi dan ideologi media. Elemen tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari proses produksi pesan baik pada media cetak maupun elektronik.
Perkembangan teknologi telah menempatkan komunikasi di garis depan dari sebuah perubahan sosial. Dalam konteks ini perubahan dan dinamika dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh proses komunikasi lintas wilayah dan budaya. Komunikasi mempengaruhi pola perilaku, gaya hidup, cara pandang, dan tatanan sosial masyarakat. Seiring globalisasi, dinamika kehidupan manusia modern melingkupi pergerakan manusia, barang atau gagasan di antara negara dan akselerasi wilayah. Ada empat dimensi pokok globalisasi yang saat ini dapat kita jadikan acuan menggali hubungan ekonomi dan kapital; media, informasi dan teknologi komunikasi, imigrasi dalam skala besar, produksi kebudayaan dan konsumerisme.
   Dalam situasi dimana pergulatan ideologi berlangsung dengan ketat, bangsa Indonesia mengalami tekanan yang mengakibatkan keterpurukan dan krisis dalam berbagai aspek kehidupan – khususnya watak bangsa (nation character) sehingga sulit melihat dengan jernih bagaimana kolonialisme bermetamorfosis dengan banyak istilah seperti ‘globalisasi ekonomi’ yang secara perlahan masuk melalui banyak pintu. Kolonialisme dan kapitalisme selalu bermuara pada pengerukan sebanyak-banyaknya sumber-sumber produksi untuk mencapai keuntungan sebanyak-banyaknya. Paham ini mulai berkembang di kota-kota utama dunia besar sebagai pusat masuknya informasi yang kemudian merembes ke kota besar dan kota-kota kecil lainnya lewat istilah kosmopolitan. Karena istilah ini lahir dalam budaya Barat – tentu saja tidak terlepas dari akar ideologi tersebut. Pada intinya istilah kosmopolitan mengandung dimensi keanekaragaman lalu lintas budaya dari berbagai  kutub peradaban. Namun yang kemudian terjadi adalah istilah ini kemudian menyempit dan menjadi ‘made in USA’ . 
   Salah satu pengertian sempit globalisasi adalah Amerikanisasi – pengertian ini rasanya tidak berlebihan bila melihat desarnya arus modal Amerika yang menembus berbagai belahan dunia.  Pada tahun 2002 Divisi Kependudukan PBB mencatat bahwa Mc. Donald’s sebagai salah satu ‘made in Amerika’ terkemuka memiliki 30.000 warung di 118 negara di dunia dan diperkirakan dalam dekade 1999 - 2000 an setiap hari ada 3 warung Mc. Donald’s di buka, bisa dibayangkan bagaimana derasnya penetrasi label Amerika di hampir seluruh  penjuru dunia.
Penetrasi ini secara perlahan menggiring berbagai lapisan masyarakat terutama generasi muda yang dengan tidak sadar membangun konsep diri (self concept) yang rentan menimbulkan rasa minder (inferior) bila mengidentifikasikan diri di saat juga harus menghadapi masalah dan tekanan dari luar dan dalam budaya sendiri. Mereka merasa malu dan minder bila tidak nongkrong di KFC, berbalut merek Blue Jeans dan Lee Cooper serta rasa minder kalau tidak mengidentifikasikan dirinya dengan label-label Barat. Bila ini menjangkiti generasi muda maka disinilah pintu masuknya Amerikanisasi berawal, khasanah nilai-nilai dan kearifan lokal yang mengagungkan kesederhanaan, beralih dengan mempersepsikan sesuatu sesuai dengan standar materi dan hedonisme.
Tayangan yang hadir di layar kaca mewakili secara simbolis realitas yang ada didalam masyarakat. Jika saat ini - misalnya dalam program stasiun televisi di negeri ini saat ini banyak yang bermunculan tayangan bertema hantu -  itulah realitas masyarakat kita. Lalu ketika muncul protes dan kritikan karena dianggap kurang mendidik apakah mesti dibuatkan Undang-Undang Anti hantu  seperti halnya Rencana Undang-Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang saat ini sedang digagas dan menimbulkan pro dan kontra?
Meskipun banyak pendapat yang mengatakan bahwa realitas dalam masyarakat dikonstruksi kembali kedalam media melalui film dan sinetron namun semuanya belumlah merupakan realitas sesungguhnya. Kita bisa melihat bagimana sinetron di televisi sebagai hiburan yang mengangkat “realitas perempuan” yang mayoritas penontonnya perempuan muda, ibu-ibu dan pembantu rumah-tangga. Kebanyakan tayangan tersebut menampilkan perempuan yang memarahi anak gadis, suami, pembantu hingga tetangganya sampai kelihatan urat lehernya. Mungkin salah satu sebab mengapa para tenaga kerja wanita yang berprofesi sebagai PRT yang dikirim keluar negeri mengalami pelecehan karena dari dalam negeri sendiri terlalu sering dikatakan pembantu bodoh dan dungu. Secara tidak sadar perempuan Indonesia direpresentasikan oleh seringnya tokoh perempuan menangis dalam begitu banyak episode Sinetron dan film serta pakaian minim artis dan liuk tubuh penyanyi dangdut perempuan. Pertanyaannya adalah apakah realitas yang dikonstruksi media tersebut identitas perempuan bangsa Indonesia? Jawabannya mungkin bukan mencerminkan identitas perempuan Indonesia  tetapi itulah realitas perempuan Indonesia saat ini.
Diakui atau tidak, media massa telah menarik begitu banyak energi sosial mulai dari pakaian, cita rasa, hingga pemakaian bahasa. Melalui media massa elemen-elemen budaya pop Amerika seakan menjadi menu yang melebur dan membentuk watak budaya pop di Indonesia, merembes dari kota-kota besar lalu menuju kota-kota kecil. Lihatlah bagaimana Britney Spears, Christina Aguillera atau Ashley Simpson kemudian menular ke Agnes Monika dan artis remaja lainnya dan menjadi ikon remaja yang diikuti gaya dandanannya. Kalau kebetulan ke Jakarta dan berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan maka kita akan menjumpai begitu banyak istilah yang campur aduk mulai dari hingar-bingar pemakaian kata-kata bahasa Inggris tertentu seperti “thank you”, “okay”, atau “cool”  sampai “so what gitu loh” di hampir semua media elektronik, Summit Building, Plaza Senayan, Atrium Plaza Senen, Depok Trade Center dan masih banyak lagi – bahkan sudah merambah ke daerah tercinta lewat “Sultan Square” -   hanya untuk memberi label tempat merupakan ciri dari bahasa budaya pop Indonesia. Akibatnya sering tidak terhindar dari kelatahan salah kaprah pemahaman makna padahal begitu banyak padanannya dalam bahasa Indonesia.
Bila kita menonton tayangan dari negeri lainnya di Asia seperti Jepang, Thailand dan Cina hampir tidak ditemukan eskpresi kemarahan berlebihan seperti di Indonesia. Keberadaan perempuan yang konstruksi dalam berbagai jenis sinerton atau apapun namanya boleh jadi merupakan gambaran kondisi psikologis yang disebut patologi sosial “masyarakat yang sakit” suatu masyarakat yang sakit secara sosial karena banyaknya himpitan persoalan yang tidak bisa dipecahkan sementara di lain pihak mereka tidak mempunyai kemampuan subsistensi sosial yang cukup kuat, suatu keadaan dimana masyarakat toleran dan sabar menghadapi berbagai macam persoalan hidup. Antonio Gramsci, seorang penyokong teori media kritis menyatakan bahwa proses hegemoni dapat muncul dalam banyak cara dan pola, intinya hal itu terjadi ketika sesuatu diinterpretasi pada cara yang menungkinkan kepentingan satu kelompok diatas yang lainnya. Mc.Quail dalam teori media kritis lainnya mengatakan bahwa media merupakan pemain utama dalam pertarungan ideologi, dimana ideologi yang dominan dapat diabadikan oleh media. Dalam pandangan marxisme klasik media merupakan instrumen kelas atau kelompok yang dominan dimana kaum kapitalis mengembangkan ideologinya. Media menyebarkan ideologi penguasaan dan menindas kelas lain dalam masyarakat.
Pada gilirannya apa yang tertangkap stasiun televisi di pusat kekuasaan kemudian merembes menuju kota lain dan kota-kota kecil sampai pelosok desa yang terjangkau siaran tersebut. Pada tahap ini tidak ada yang dapat membendung penetrasi berbagai nilai dan budaya dari luar selain kemampuan masyarakat itu sendiri untuk dapat menjadi jaring bagi sebuah ketahanan budaya dan kearifan lokal.

Pandangan Agama terhadap Media Massa
Jika pandangan teologis mengenai media massa diberikan kedudukan formal sebagai bagian dari sistem media massa yang berlaku, maka peran netral agama dalam bidang itu sulit berkembang. Padahal sistem media massa di negara kita telah menentukan adanya keharusan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (UU Pers dan UU Perfilman).
Makin formal kedudukan agama dalam urusan kebebasan media massa makin memiliki sifat sebagai alat legitimasi sistem media massa tersebut. Akibatnya, kemandirian pandangan agama terhadap persoalan-persoalan media massa kurang bisa berkembang. Inilah yang terjadi ketika banyak muncul gejala pelaksanaan fungsi hiburan sebagian media massa yang menawarkan selera rendah.
Dalam film atau televisi sering disajikan adegan pembunuhan, perusakan dan sebagainya yang merusak dan mencelakakan orang lain. Adegan kekerasan ini biasanya dianggap sebagai bagian yang ramai dari penyajian film. Bersama adegan seks, adegan kekerasan adalah pemancing penonton yang paling manjur. (veven S. Wardhana, 1997: 147).
Untuk itu jika agama banyak memberikan legitimasi kepada sistem media massa dalam penentuan sajian hiburan yang pantas dan tak pantas, maka proses lembaga-lembaga agama terhadap berbagai sajian hiburan yang dinilai vulgar, misalnya di televisi swasta dan majalah-majalah hiburan, takkan banyak artinya. Karena itu pandangan teologis terhadap peran media massa harus dinetralisasikan sesuai dengan kesalehan yang menjadi ciri agama Samawi.
Semua agama menjunjung tinggi kebebasan komunikasi dan informasi di antara umat manusia. Bahkan Tuhan memerintahkan manusia selalu berkomunikasi dengan-Nya. Untuk itu sistem komunikasi sosial dan sistem media massa, menurut agama Islam misalnya, ada pula disebut kebebasan komunikasi atau kebebasan media massa yang bertanggung jawab. Yang dimaksud bertanggung jawab tentulah bertanggung jawab kepada Allah SWT. Di TAP MPR No. XXXII/1966 dan UU Pers ditentukan, bahwa kebebasan pers harus dibatasi dengan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara implisit UU perfilman pun menentukan hal yang sama (UU No. 8/1992 pasal 21 dan pasal 26 ayat 1 (A. Muis, 2001: 181).
Pandangan al-Qurán dan Hadist tersebut mengenai kebebasan pers cenderung diformalkan oleh sistem pers yang berlaku, seperti juga semua teori lainnya tentang kebebasan pers, sehingga semua teori akan terserap ke dalam sistem tersebut. Di Indonesia, sebenarnya sistem pers pancasila tidak bertentangan dengan pandangan teologis mengenai kebebasan pers dan pembatasannya. Tetapi, manakala agama banyak menyodorkan legitimasi kepada kebijaksanaan pemerintah tentang kebebasan pers, maka pandangan teologis mengenai kebebasan media massa tidak lagi bisa netral.

Kesimpulan
Efek media massa selain positif juga memiliki dampak negatif. Pengelola komunikasi massa dapat dipastikan tidak berniat untuk menyebarkan dampak negatif kepada khalayaknya. Media massa harus memiliki efek menambah pengetahuan, mengubah sikap, menggerakkan perilaku. Efek yang terjadi pada tiga aspek yaitu efek pengetahuan (afektif), perasaan (kognitif), dan pada sikap perilaku (konatif).
Ada beberapa alasan yang mendorong kita untuk meningkatkan peranan media massa antara lain agar media dapat memperkenalkan dan mengintegrasikan inovasi yang diperlukan dalam perikehidupan masyarakat, agar media massa memperluas wawasan yang dapat mengurangi ketegangan yang menyertai perubahan di era global ini, agar media massa meredam konflik dengan menyediakan forum diskusi dan dialog antara individu maupun antarkelompok dalam masyarakat.


 Daftar Rujukan

Achmad, A.S., komunikasi, Media Massa dan Khalayak, Cet. I, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1992.

Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.

Effendy, Onong Uchjana, Radio Siaran: Teori dan Praktek, Cet. III, Bandung: CV Mandar Maju, 1991.

Jahi, Amri, Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Kuswandi, Wawan, Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi, Cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.

Liliweri, Alo, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Muis, A., Komunikasi Islam, Cet. I, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.

Mulyana, Deddy dan Idy Subandi Ibrahim, Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib, Cet. I. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997.

Rakhmat, Jalaluddin, Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 2001.

.................................., Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.

Rogers, Everett M.; Zao Xiaoyan; Pan Zhondang; Chen Milton, The Beijing Audience Study. Communication Research 12, 1985.


Susanto, Astrid, Filsafat Komunikasi, Bandung: Binacipta, 1976.

.............................., Komunikasi dalam Teori dan Praktek, Bandung: Binacipta, 1976.

Wardhana, Veven S., Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Woods, John L., A Question for the Media Managers, Media Asia 3, 1976.

Wright, Charles R., Mass Communication: A Sociological Perspektive, diterjemahkan oleh Liliwati Trimo dan Jalaluddin Rakhmat dengan judul: Sosiologi Komunikasi Massa, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1988.

Yuliar, Sonny, Memotret Telematika Indonesia: Menyongsong Masyarakat Informasi Nusantara, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.