skip to main | skip to sidebar

IMPLEMENTASI DAKWAH DALAM PENINGKATAN KESADARAN HUKUM


Oleh Ilham

Abstrak Dawah and law have a tight correlation since dawah is an effort to bring human beings to the right way which based on religious and morality norms. Therefore, human beings are subject and object of law. In order to increase the understanding to the low, dawah has an important role as a medium. In this regard, human beings need a law the reserve and save the right as a honorable person (muhtaram). The activities of dawah must be functional and has a transformative role in facing a social change. 
Kata kunci : implementasi, dakwah, kesadaran hukum

Pendahuluan
Islam adalah agama samawi dengan system hidup yang selaras dengan perintah Allah swt dalam wahyu-Nya dan sejalan dengan tuntunan Rasulullah saw. merupakan mata rantai terakhir agama Allah yang tertuju kepada seluruh umat manusia sepanjang masa hingga  hari akhir  kelak. Oleh karena itu Allah menyatakan dalam QS. Al-Maidah (5):3.
اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الاسلام دينا
Terjemahnya:
            “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” ( Departemen Agama RI, 1971:157)

Islam sebagai agama yang sempurna memberi pedoman kepada manusia mencaup akidah, akhlak dan syari’ah. Akidah sebagai manifestasi dari sesuatu yang diimani atau diyakini dan syari’ah adalah merupakan bagian integral dari akidah itu sendiri, seseorng yang meyakini keberadaan pencipta serta segala yang diciptakan dapat dikatakan sebagai seorang yang berakidah. Namun akidah seseorang tidak sempurna tanpa disertai dengan ketaatan syari’ah yang telah menjadi ketetapan Allah dalam wahyu-Nya.
Manusia sebagai subyek dan obyek hukum tidak dapat hidup dan menjalankan tuntutan hukum seorang. Namun sebaliknya manusia diikat dengan suatu aturan yang berlaku di tengah-tengah kehidupannya sebagai warga masyarakat dalam lingkungannya. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran dalam memahami serta mentaati aturan yang berlaku. Namun perubahan social dan budya yan terjadi terus menerus kadangkala mendatangkan harapan sekaligus kekhawatiran. Harapan, karena perubahan akan mendatangkan keadaan yang lebih baik, dan kekhawatiran akan datang apabila masa depan lebih buruk dari masa kini.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang seharusnya memperbesar harapan dan memperkecil kekhawatiran kini juga ditandai dengan adanya konfrontasi para Ilmuwan dan Ulama, yakni mengakibatkan pemisahan antara dunia dan akhirat sampai menimbulkan sulitnya mengendalikan sikap manusia sebagai ekses kehampaan jiwa. (A.M. Saefuddin,1995: 5).
Melihat ekses yang ditimbulkan yaitu adanya kehampaan jiwa, justru memancing manusia untuk bersikap semaunya dan bersikap pura-pura untuk tidak mengetahui konsekuensi sikapnya itu hingga melanggar hukum yang telah disepakati dan diberlakukan. Sikap kurang menyadari budaya dan fungsi hukum sebagai penetralisasi perbuatan dn tingkah laku manusia justru menimbulkan bencana yang tidak hanya terkena pada pelakunya tetapi orang-orang yang berada disekitarnya. Oleh karena itu diperlukan strategi yang tepat untuk menyelesaikannya.
           
Eksistensi Hukum di Tengah Kehidupan Manusia
Berbicara mengenai keberadaan hukum di tengah kehidupan manusia, maka yang perlu diketengahkan adalah sejauhmana hukum itu memberikan corak pemikiran dan membentuk tingkah laku manusia dan kebutuhan manusia atas hukum  itu sendiri.
Manusia menginginkan ada hukum dan aturan yang melindungi haknya sebagai makhluk yang muhtaram yaitu menghormati kedudukannya sebagai makhluk yang bernyawa. (Ali Yafie, 1994:46) Bagi suatu masyarakat yang sedang membangun hukum  tidak hanya diperlukan sebagai kontrol sosial semata, tetapi diharapkan dapat menggerakkan masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan aturan yang berlaku, oleh karena itu kesadaran hukum masyarakat menjadi hal urgen dalam menyesuaikan tingkah lakunya sebagai anggota masyarakat, hukum juga menjadi sarana untuk menyalurkan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemegang kekuasaan yang secara otomatis dituntut seorang pembuat kebijakan harus menjadi cerminan atas kebijaksanaan atau aturan yang mereka buat. (Satjipto Rahardjo, 1981: 124-125)
Manusia merupakan tenaga pendorong dari hukum itu sendiri, dengan demikian hukum harus berlandaskan pada kerjasama dan perdamaian, agar setiap kepentingan masyarakat dapat terlindungi (Mr. J. Van Kan Beekhuis, 1982: 165,168) Dengan demikian hukum bukan hanya peraturan semata tetapi harus disediakan pula serangkaian hukuman-hukuman bagi mereka yang menentang peraturan tersebut, walaupun serangkaian hukuman itu tidak dapat dijadikan indikasi ketaatan sepenuhnya terhadap hukum, tetapi setidaknya membantu pelaksanaan hukum pada tingkat tertetu. (Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, 1996: 32).
Dengan demikian dapat difahami bahwa kehidupan manusia adalah kehidupan yang senantiasa berada dalam peraturan, sebab manusia membutuhkan hukum untuk menjalin kerjasama dengan masyarakat lain, dan peraturan itu wajib ditaati tanpa memandang usia, jabatan dan sebagainya, hal ini wajib untuk diterapkan agar wibawa hukum dapat nilai sebagaimana seharusnya hukum dihargai sebagai undang-undang atau landasan kehidupan.

Beberapa Indikasi Adanya Kesadaran Hukum
Mengukur tingkat kesadaran hukum masyarakat adalah sangat sulit, namun kesadaran hukum itu apakah ada atau  tidak, hanya dapat diamati dari beberapa hal di bawah ini yang dijadikan indikasi kesadaran hukum,  yaitu:
            1. Pengetahuan Hukum
Pengetahuan hukum yang dimaksud hanya sebatas pengetahuan secara konsepsional yaitu mengetahui bahwa ada hukum yang mengatur perbuatan masyarakat, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, bahwa ada perbuatan yang dilarang dan ada pula yang diperbolehkan. (Sudarsono, 1995: 42.)
Taraf ini merupakan yang terendah dari suatu indikasi kesadaran hukum dan menjadi sendi lahirnya perilaku hukum. Tahap ini belum mengetahui atau memahami betul ringan beratnya sesuatu sanksi atau hukuman bagi pelanggaran suatu hukum.
            2. Pemahaman norma-norma hukum
Pada tingkat ini masyarakat sudah mulai menghayati lebih jauh mengapa mesti ada hukum, fungsi hukum serta apa tujuan hukum diberlakukan. Di dalam ajaran Islam hukum bertujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, mengatur hubungan manusia dengan sang pencipta, serta hubungan manusia dengan alam lingkungan (Abdurrahman I, Doi, diterjemahkan oleh Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi 1993:10).
Pada tahap ini masyarakat sudah memahami hukum beserta sanksi-sanksinya yang secara bertahap akan memberikan penilaian dari setiap pelanggaran hukum yang terjadi.
            3. Prilaku Hukum
Pada tahap ini merupakan ukuran kesadaran hukum yang tertinggi, dalam tahap ini masyarakat menyadari bahwa dalam menuntut hak harus berada pada jalur hukum, begitupun apabila melaksanakan kewajibannya tetap pada ketentuan hukum yang berlaku. (Abdurrahman I, Doi, diterjemahkan oleh Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi 1993: 68).
Dari indikasi-indikasi di atas adalah hasil pengamatan tingkat dan bentuk-bentuk kesadaran hukum masyarakat, tingkat pendidikan yang tinggi tidak menjamin seseorang mampu mencapai tingkat tertinggi dari kesadaran hukum, seab boleh jadi seseorang yang mempunyai pendidikan yang tinggi justru kesadaran huumnya hanya hingga taraf mengetahui dan memahami hukum, tetapi terkadang seseorang yang pendidikannya endah mampu untuk berlaku dan bersikap taat hukum.

Dakwah dalam Perspektif Hukum
Al-Qur’an adalah kitab dakwah yang berisi penetapan syari’at, sebab al-Qur’an yang diturunkan Allah swt kepada manusia melalui dakwah yang dilakukan Rasulullah hakekatnya adalah ajakan untuk menaati dan mengikuti ajaran Islam, dimana tujuannya adalah untuk menjadi pedoman dalam hidup manusia. Mengenai kewajiban manusia dalam posisinya sebagai insan dakwah, dijelaskan dalam QS. An-Nahl (16): 125.

ادع الى سبيل ربك باالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هىاحسن ان ربك هواعلم بمن ضل عن سبيل وهواعلم بالمهتدين
Terjemahnya:
          “Serulah manusia kepada jalam Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih menetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Departemen Agama RI, 421).

Dalam ayat ini dikemukakan tentang kewajiban untu menyeru kepada sesama ke jalan Allah dengan cara bijaksana dan senantiasa memberikan pelajaran yang baik, apakah pelajaran itu melalui penyampaian lisan  atau dengan sikap dan amal perbuatan, dan melakukan diskusi dengan mereka dengan cara yang baik agar ketertarikan untuk mendengar nasehat agama ada.
Untuk memperoleh hasil yang maksimal, maka kemampuan dan potensi yang ada harus dimaksimalkan pula, salah satu potensi yang harus ada adalh lkemampuan dari da’i itu sendiri serta keseriusan dlam menjalankan aktivitasnya, baik yang dilakukan secara sendiri maupun berjama’ah. (Asmuni Syukir, 1983: 27).
Kewajiban tentang berdakwah oleh para ahli berbeda pendapat, apakah kewajiban itu ditujukan kepada setiap Muslim ataukah kewajiban itu hanya ditujukan kepada sebagian Muslim saja, sumber perbedaan ini berasal dari penafsiran yang berbeda. QS. Ali- Imran (3): 104.

ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويامرون بالمعروف وينهون عن المنكرواوْلاءك هم المفلحون
Terjemahnya:
            “Hendaklah ada diantara kalian suatu umat yang menyeru kepada Islam dan memerintahkan yang ma’ruf dan yang mungkar.” (Departemen Agama RI, 302).

Kata” منكم” ditafsirkan secara berbeda, sehingga mengandung dua makna yaitu “للبيان  “yang berarti kewajiban berdakwah itu ditujukan kepada setiap Muslim tanpa kecuali, sedangkan penafsiran yang kedua berarti “للتبعيد  “ yang berarti mengandung makna sebagian. (Abu Zahrah, diterjemahkan oleh Ahmad Subandi dan Ahma Supeno, 1994: 42).
Secara lahiriyah kedua makna ini saling bertentangan, namun hakekatnya keduanya justru saling melengkapi, dimana makna al- Bayan tidak menolak adanya spesialisasi sebagian para kaum Muslimin untuk berdakwah. Sementara kata “من “ dalam firman-Nya “ منكم“ menunjukkan untuk sebagian, yang dimaksud adalah hendaknya ada diantara kamu yang secara khusus untuk melaksanakan dakwah.
Kewajiban berdakwah itu sifatnya sangatlah fleksibel sebab tuntunan pelaksanaan tidak ditujukan kepada satu komunitas saja tetapi bersifat umum dengan tidak meninggalkan sifat kekhususannya sendiri, maksudnya adalah selain sebagai fardu ‘ain juga hukumnya fardhu kifayah dengan ketentuan sebagai berikut:
            1. Berdakwah hukum wajibnya ditujukan kepada setiap orang yang mengaku Muslim dengan memberikan petunjuk dan beritagembira.
            2. Hendaknya ada tenaga ahli yang khusus dari kalangan umat yang memang mendalami bidang tersebut secara professional.
Untuk menciptakan suasana kondusif dari kedua hukum tersebut maka perlu difahami bahwa antara dakwah yang dilakukan secara kolektif dan individu harus saling melengkapi dengan jalan dakwah yang dilakukan secara individu memberikan dukungan kepada pihak yang memang benar-benar terjun ke dalam bidang ini secara professional, sebab jangan sampai adanya dua bentuk hukum berdakwah ini menjadikan umat Islam terpecah dan tidak peduli serta merasa tidak berkewajiban untuk menyampaikan dan melestarikan ajaran Islam.

Aktualisasi Dakwah dalam Peningkatan Kesadaran Hukum
Dakwah sebagai agen perubahan masyarakt senantiasa dituntut untuk menciptakan perubahan-perubahan yang lebih baik terhadap obyek dakwahnya, berbicara mengenai aktualisasi tentunya adalah tindakan penerapan atau strategi dakwah dalam mewuudkan kesadaran hukum, adapun strategi  itu adalah sebagi berikut:
1. Aktivitas dakwah harus menjadikan materi dakwahnya sebagai suatu kaidah atas jiwa dan pemikiran sebelum menjadi suatu kaidah perundang-undangan atau syari’ah. Hal ini tentu ada kerjasama antara dakwah dan pemerintah untuk mewujudkannya menjadi hukum-hukum syari’at secara praktis. Hal tersebut sesuai dengan tujuan Islam, bahwa Islam tidak hanya menginginkan satu aspek  saja tetapi Islam mengaitkan secara erat antara peraturan dengan akidah, dakwah dan syari’at. (Muhammad Husain Fadhlullah, diterjemahkan oleh Tarmana Ahmad Qosim, 1997: 11).
Syari’at dalam Islam adalah berhubungan dengan amal nyata dalam rangka mentaati semua aturan Allah guna mengatur hubungan manusia dengan manusia. Dengan demikian konsep ini adalah salah satu langkah  awal untuk mengantar manusia kepada ketaatan hukum Islam, sebab terlebih dahulu diarahkan pada pemahaman materi dakwah dengan menyentuh jiwa dan pemikiran obyek dakwah.
2. Penerapan konsep keadilan dalam kegiatan atau aktivitas dakwah, keadilan tampaknya merupakan suatu konsep yang perlu diterapkan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia dalam hubungannya dengan yang lain dan dianggap sebagai suatu perantara untuk menegakkan disiplin dan menjaga hak-hak manusia (Muhammad Husain Fadhlullah, diterjemahkan oleh Tarmana Ahmad Qosim, 1997: 33-35).
Bentuk keadilan yang sudah diberikan kepada manusia sudah jelas dalam al-Qur’an. Hal tersebut sudah diakui dan dijadikan salah satu dasar dari Pancasila untuk menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Aktivitas dakwah harus benar-benar fungsional dan mempunyai peranan transformatif, untuk itu dalam rangka mewujudkan konsep tersebut, maka seorang da’i harus mempunyai bekal atau persiapan diri dalam menjalankan misinya, keberhasilan Nabi dalam perjalanan dakwah Islam yang dilakukan melalui tiga tahap transformasi. Tahap pertama yaitu transformasi social, dimana dakwah Nabi dimulai dari masyarakat jahiliyyah ke masyarakat Islam, tahap kedua transformasi social kwantitatif yaitu dengan mengadakan ekspansi hingga keluar Jazirah Arabiah, kemudian tahap ketiga adalah transformasi peradaban dengan menyerap nilai-nilai peradaban Yunani, Romawi, Persia, Cina dan sebagainya yang menjadikan Islam sebagai pusat peradaban dunia. Keberhasilan tersebut karena jiwa Rasulullah telah ditanamkan konsep berjiwa besar, teguh, ulet, bersih dan tulus lahir bathin serta memberi tanpa pamrih. ( M. Masyhur Amir, , 1995 : 183-185).
Dari perjuangan Rasulullah tersebut dapat menjadi motivasi bagi para pengemban amanah bahwa kalau ingin mewujudkan kesadaran hukum, maka harus menampakkan peran transormatif dalam kegiatan dakwah dengan terlebih dahulu menanamkan yang dicontohkan oleh Rasulullah.
4. Aktivis dakwah perlu memahami konteks perubahan social yang dialami oleh masyarakat (kehidupan social obyek dakwah), untuk itu konsep dakwah harus diarahkan kepada dua jurusan yaitu:
a. Jurusan ke bawah dengan tema utama dakwah bil hal yaitu  dakwah yang dilakukan kepada perubahan dan perbaikan kondisi material lapisan masyarakat muslim, dengan harapan untuk mencegah kecenderungan kea rah kekufuran atau pindah agama karena mendapat santunan ekonomi, kegiatan yang mengarah kejurusan bawah  tersebut melibatkan kalangan intelektual sebagai da’i, misalnya dalam bentuk aksi-aksi social, sekalipun tidak selalu memakai bendera dakwah.
b. Jurusan ke atas, dilakukan dengan mempelajari kecenderungan masyarakat yang sedang berubah kearah modern industrial, yang dikhawatirkan proses industrialisasi dan modernisasi akan memisahkan masyarakat dari lembaga keagamaan sehingga terjadi proses keterasingan dan kehilangan pegangan. ( M. Dawam Rahardjo,  1992: 167,164).
5. Kegiatan dakwah dikembangkan tidak hanya pengembangan daya sadar atas kehadiran Allah swt (Zikir) tetapi dakwah harus diarahkan pada pengembangan daya nalar (Fikir), hal tersebut sangatlah tepat bila ditempatkan dalam wadah pendidikan, misalnya kampus yang mencetak kader-kader intelektual sekaligus dapat diandalkan secara moral. Sesuatu yang telah lama dilupakan oleh peradaban barat yang sekuler dan materialistis yang mengantarkan manusia untuk menghilangkan orientasi spritualnya, pengamalan peradaban yang tidak sanggup untuk mengintegrasikan antara fakir dan zikir merupakan pelajaran berharga terutama kepada civitas akademika Muslim. (M. Dawam Rahardjo, 1992: 167). Dalam hal ini dakwah dituntut tidak hanya misinya pada pemgembangan kesadaran menanamkan konsep agama hanya pada jiwa semata, tetapi dakwah harus mampu mengembangkan daya nalar obyek dakwah agar tidak terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat.
6. Berusaha untuk mengolah materi dakwah menarik minat pendengar dan mampu memotivasi, menyampaikan dakwah kepada manusia harus memperhatikan bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri dari unsure jasmani dan akal serta jiwa, sehingga mereka harus dipandang, dihadapi dengan keseluruhan unsur-unsurnya (M. Dawam Rahardjo, 1992).
Untuk menunjang tercapainya target yang diinginkan dalam menyajikan suatu materi dakwah, maka al-Qur’an memberikan petunjuk-petunjuk sebagai berikut:
1. Mengemukakan kisah-kisah yang bertalian dengan salah satu isi materi, kisah dalam al-Qur’an berkisar pada peristiwa sejarah dengan menyebut pelaku-pelaku dan tempat terjadinya, atau kisah simbolis yang tia menggambarkan suatu peritiwa yang terjadi namun dapat saja terjadi sewaktu-waktu, seperti dalam QS. Al-Kahfi ayat 32 sampai dengan 43.
2. Dakwah harus mengandung nasehat dan panutan,  artinya untuk menghasilkan manfaat yang lebih besar, maka nasehat yang disampaikan harus disertai dengan contoh teladan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., sehingga mereka mendengarkan dakwah Rasulullah melihat penjelmaan ajaran pada diri beliau.
3. Pembiasaan dalam kehidupan manusia sangat besar perannya, dari sini dijumpai bahwa al-Qur’an menggunakan pembiasaannya dalam prosesnya akan menjadi kebiasaan, pembiasaan tersebut menyangkut segi-segi pasif (meninggalkan) sesuatu atau aktif (melaksanakan) sesuatu. ( Qurais Shihab, 1992 :196-198)
Sebuah materi dakwah tidak harus dengan mempergunakan bahasa yang tinggi sehingga memenuhi syarat, namun yang sangat penting adalah berupaya untuk membahasakan ajaran-ajaran agama sesuai dengan tingkat kecerdasan obyek dakwah dan sedapat mungkin bahasa komsumtif, artinya mudah untuk diketahui dan difahami oleh obyek dakwah, oleh karena itu sebuah materi  dakwah  tidak ditentukan oleh seorang da’i  tetapi di tentukan oleh obyek dakwah, dalam artian meminta kecakapan dan kejelian da’i dalam membaca kondisi obyek dakwahnya. Dalam al-Qur’an juga dijelaskan bagaimana seorang yang mengemban amanah harus bersikap terhadap obyek dakwahnya, yaitu dalam QS. An-Nahl (16): 125:

ادع الى سبيل ربك باالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هىاحسن ان ربك هواعلم بمن ضل عن سبيل وهواعلم بالمهتدين
Terjemahnya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu degan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Departemen Agama RI: 421)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ada tiga metode yang mestinya diterapkan dalam berdakwah yaitu menyampaikannya dnegan jalan hikmah atau bijaksana maksudnya menyampaikan sesuatu pada tempat, selanjutnya metode kedua adalah memberikan pelajaran atau nasehat yang baik dan bermanfaat serta mampu  menggugah  obyeknya untuk msu mentaati apa yang digariskan oleh Allah, serta juru dakwah harus mempunyai wawasan pemikiran yang luas sebab para juru dakwah akan mengalami benturan dengan mereka yang menjadi pembangkang agama yang ditimbulkan karena adanya kontradiksi keyakinan dengan dakwah itu sendiri.
8. Dakwah sebagai kegiatan yang mendapatkan tuntutan untuk dapat mengubah pengetahuan, sikap, dan prilaku orang, bukan hanya melalui ceramah-ceramah dan khutbah tetapi juga melalui lembaga-lembaga pendidikan formal.
Dr. Muhamad Jawad as-Sahlani mendefenisikan Islam sebagai proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaan dan menngembangkan kemampuan. (Jalaluddin Rahmat, 1994: 115). Dakwah Islam yang dilakukan dilembaga-lembaga pendidikan harus memperhatikan proses pencapaian tingkat kesempurnaan, manusia sempurna ialah yang mencapai ketinggian iman dan ilmu. Al-Qur’an menunjukkan bahwa manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik dan sebaiknya, oleh karena itu dakwah Islam melalui pendidikan harus ditujukan utuk membangkitkan potensi-potensi yang baik pada diri manusia dan mengurangi potensi jelek, untuk itu Rasulullah adalah uswatun hasanah bagi manusia sebab pada beliau  potensi yang baik tersebut maka Allah memberikan perintah kepada manusia untuk berilmu dan beriman melalui membaca dengan nama Allah, mengagungkan Allah yang mulia dan mengajarkan ilmu yang tidak di ketahui.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :        
1.  Untuk mengetahui bagaimana aktualisasi hukum dalam masyarakat, maka dapat dilihat dari beberapa indikasi yaitu pada pengetahuan hukum yang dimiliki masyarakat, pemahamannya terhadap norma-norma hukum, serta prilaku hukumnya.
2. Adapun strategi dakwah  peningkatan  kesadaran hukum yaitu :
a.     Kaidah Hukum atau Syari’at harus senantiasa dijadikan sebagi materi dalam aktivitas dakwah.
b.    Penerapan konsep keadilan dalam segala aktivitas dakwah
c.     Aktivitas dakwah harus menjadi agent of transfomation dan agent of cange, sehingga dapat memberi warna dalam masyarakat.
d.    Aktivitas dakwah perlu memahami konteks  perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat, sehingga dakwah dapat pemecah masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
e.     Kegiatan dakwah harus diarahkan kepada pengembangan daya sadar (zikir) dan sekaligus pengembangan daya nalar (fikir).
f.      Mengolah materi dakwah sedemikian rupa sehingga menarik minat, seluruh objek dakwah.

 
Daftar Rujukan

Amin, M. Masyhur. Dinamika Islam, Yogyakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, 1995.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan  Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971.
              
Do’i, I Abdurrahman shariah The Islamic Law diterjemahkan oleh Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi dengan judul Syari’ah Kodifikasi Hukum Islam, Cetakan I; Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Fadhlullah, Muhammad Husain. Uslub ad-Dakwah fi al-Qur’an, diterjemahkan oleh Tarmana Ahmad Qosim dengan Judul Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an, Cetakan. I; Jakarta: Lentera, 1997.

IAIN Alauddin, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis dan Disertasi, Edisi Revisi; Ujng Pandang, 1995.

Mr. J. Van Kan Beekhuis, Inleideng Tot De Rechtenchap, diterjemahkan oleh Muh. O. Masdoeki dengan Judul Pengantar Ilmu Hukum Cetakan IX; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Rahardjo, Sadjipto. Hukum dalam Perspektf Sosial, Bandung: Alumni, 1981.

Rahardjo, M. Dawam. Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik, Bandung: Mizan, 1992.

Rahmat, Jalaluddin. Dakwah Al-ternatif, Cetakan VI; Bandung: Mizan, 1994.

Yafie, Ali.  Menggagas Fiqih Sosial, Cetakan  II; Bandung: Mizan, 1994.

Saefuddin, A.M. Ada Hari Esok, Refleksi Sosial Ekonomi dan Politik untuk Indonesia Emas, Cetakan. I; Jakarta: Amanah Putra Nusantara, 1995.

Shihab, Qurais. Membumikan al-Qur’an, Cetakan .II’ Bandung: Mizan, 1992.

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan II; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995.

Syukir, Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983.

Thabathaba’i, Allamah Sayyid Muhammad Husain. Islamic Teachings: An Overview, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad dengan judul   Inilah Islam. Upaya memahami Konsep Islam secara Mudah, Cetakan II; Bandung: Pustaka al-Hidayahm 1996.

Yafie, Ali.  Menggagas Fiqih Sosial, Cetakan II; Bandung: Mizan, 1994.

Zahrah, Abu. Al-Dakwah Ilaa Al-Islam, diterjemahkan oleh Ahmad Subandi dan Ahma Supeno dengan judul Dakwah Islamiyah, Cetakan .I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.