skip to main | skip to sidebar

HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA): SEBUAH UPAYA MEMAHAMI PEMIKIRAN DAKWAHNYA


Oleh Nuryani

Abstrak :   The term of da’wah in the early occurrence of Hamka not so popular. People are more familiar with the term tabligh. Both said it is almost the same substance, but a clear da’wah more general, wider than solely tabligh term. According Hamka, tabligh means convey, appeals, while the da’wah is to exclaim. Da'wah is an integral part of Muslim life that should not be ignored. Because negligent conduct causing damage to the public da’wah of Islam. That's why trying to carry out tasks Hamka da’wah according to his ability to bring people to awareness and bring them to a better situation. Hamka thoughts about the mission contained in his books, especially the Tafsir al-Azhar, 30 Juz and Islamic Propagation Principles and Policy, is a treasure of Islamic sciences as well as guidance for practitioners as well as da’wah a very valuable theoretical contribution to the process development of the science of da’wah.
                  
Kata kunci : Hamka, pemikiran dakwah

Pendahuluan
Dakwah dalam pandangan Hamka pada dasarnya berkonotasi positif  yang substansinya terletak pada aktivitas memerintahkan untuk melaksanakan yang ma'ruf dan mencegah berbuat munkar. Hal ini tampak dari defenisinya tentang dakwah, yakni menyampaikan ajakan kepada yang ma'ruf dan menjauhi yang munkar (Hamka, juz 4, 1983 : 31). Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Shaykh Ali Mahfuz, bahwa dakwah adalah mengajak umat manusia kepada al-khayr dan al-huda serta memerintahkan mereka berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat  (Shaykh Ali Mahfudz, 1952: 17).
   Dalam pandangan Hamka amar ma'ruf nahy munkar tidak saja dilakukan dengan lisan dan tulisan, tetapi juga dengan akhlak atau budi pekerti yang mulia (Hamka, 1990 : 154). Menurutnya, dengan prilaku terpuji, seseorang bisa menanamkan nilai-nilai Islam kepada orang lain. Karena itu, dakwah dapat dijalankan oleh setiap Muslim, termasuk pemerintah (Hamka, 1990 : 157). Ia dapat melaksanakan dakwah sesuai dengan kedudukannya, yaitu dengan cara memberi contoh yang baik dan berlaku adil.

Kewajiban Berdakwah
Dakwah adalah tugas dari Allah yang dibebankan kepada para Nabi dan Rasul Allah, semenjak Nabi dan Rasul yang pertama hingga Nabi Muhammad Saw. Karena itu, dakwah merupakan tugas kenabian atau nubuwwah yang wajib diikuti.
Tugas dakwah mulai diemban Nabi Muhammad Saw, sejak turun al-Qur'an surah al- Muddassir (74) : 1-5 :
Hai orang yang berkemul (berselimut) bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhanmua agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosamu tinggalkanlah (Departemen Agama RI., 1994: 575).

Kemudian tugas dakwah diamanahkan kepada umat Islam sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Imran (3) : 104, yang artinya:
Dan hendaklah ada diantara kamu segologan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (Departemen Agama RI., 1994: 63)

   Dengan berdasar pada ayat-ayat di atas, maka para ulama sepakat menetapkan bahwa hukum dakwah wajib (fard) (Syamsuri Siddiq, 1987: 12). Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang sifatnya. Al-Maraghi menyatakan fard Khifayah (Ahmad Mustafa al-Maraghi Juz 4, 1963 : 22). Sementara Muhammad Abduh menyatakan fard 'ayn  (Muhammad Rasyid Ridha, Juz 4, tt. : 27).
Dari kontroversi tentang hukum dakwah tersebut, Hamka mencoba mengambil jalan tengah. Ia berpendapat bahwa dakwah pada hakekatnya menjadi tugas dan tanggung jawab setiap muslim (fard'ayn), akan tetapi harus pula ada kelompok yang khusus berdakwah (fard kifayah), yang disebutnya sebagai kelompok inti. Kompromi pendapat tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa dakwah adalah fard'ayn bagi diri sendiri sesuai kemampuan, tetapi juga fardhu kifayah. Apabila telah ada yang melaksanakan dakwah, maka yang lain tidak diwajibkan. Tetapi menurutnya, jika tugas dakwah dalam bidang tertentu tidak bisa dilaksanakan, kecuali yang mempunyai keahlian di bidang itu, maka fard kifayah berubah menjadi fard'ayn terhadap orang yang ahli tersebut (Hamka, 1990: 225-232)
Di sisi lain beliau mengomentari bahwa untuk melaksanakan dakwah hendaknya dibentuk jama'ah atau organisasi dakwah yang di dalamnya berkumpul orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang keahlian dan keilmuan, sehingga problematika dakwah dalam segala aspek kehidupan manusia bisa tersentuh (Hamka, 1990 : 216). Inilah yang disebut Hamka sebagai kelompok inti.
Kelompok inti tersebut, menurutnya, harus memenuhi syarat-syarat yang disebutnya ilmu dakwah, yakni:
1.       Hendaklah seorang pemberi dakwah mempunyai pengetahuan yang sempurna, atau menguasai sepenuhnya kemana manusia itu hendak dibawahnya dengan dakwah. Yaitu hendaklah mereka mengetahui al-Qur'an. Sunnah Rasul; sejarah hidup nabi dan khulafa'u al-Rashidin.
2.        Berpengetahuan tentang keadaan umat yang akan diadakan dakwah kepadanya.
3.       Wajib berpengetahuan tentang pokok dan sumber ilmu sejarah ilmu yang umum.
4.       Berpengetahuan ilmu bumi
5.       Memiliki pengetahuan ilmu jiwa
6.       Mengetahui ilmu akhlak
7.       Mengetahui ilmu masyarakat (sosiologi)
8.       Mengetahui ilmu politik
9.       Mengetahui bahasa negeri tempat melakukan dakwah
10.   Mengetahui kebudayaan dan kesenian sekedarnya dari masyarakat sebagai sarana dakwah
11.   Mengetahui pokok-pokok perbedaan agama-agama yang ada (Hamka: Juz 13, 1983: 35).
Syarat-syarat tersebut, menurutnya, tidak boleh diabaikan oleh seseorang yang hendak membaktikan dirinya secara profesional dalam bidang dakwah. Oleh karena tugas dakwah tidaklah dapat dilakukan dengan persiapan apa adanya, sebab masyarakat yang akan dihadapi sangat kompleks dan persoalan dakwah pun tidak pernah selesai.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa orang yang akan mengembang tugas dakwah adalah seseorang yang mempunyai wawasan luas, profesional dan mempunyai jiwa kepekaan sosial. Disamping itu, ia harus mempunyai semangat jihad, teguh dalam pendirian, dan bersikap toleransi terhadap faham keagamaan (madhhab) yang berkembang dalam masyarakat.

Materi dan Objek Dakwah
Dalam operasional dakwah, al-Qur'an terlebih dahulu meletakkan satu prinsip bahwa manusia yang dihadapi adalah makhluk yang terdiri dari unsur jasmani, akal dan jiwa, (Harun Nasution, 1985: 36) sehingga ia harus dipandang dihadapi dan diperlakukan dengan keseluruhan unsur-unsurnya secara serempak dan simultan. Oleh karena itu, materi dakwah yang akan dikomunikasikan harus dikondisikan secara obyektif agar dakwah dapat menyentuh kebutuhan mereka.

1.    Materi dakwah

Dalam membicarakan masalah materi dakwah, tampaknya Hamka mengungkapkan pendapatnya, bahwa secara keseluruhan terdapat lima perkara yaitu :
a.     Akidah Islamiyah. Yaitu pokok-pokok kepercayaan Islam (rukun iman) yang diambil dari al-Qur'an al-karim.
b.    Risalah Nabi Muhammad saw dan Rasul-Rasul Allah terdahulu yang kedatangannya adalah untuk memperkenalkan tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah.
c.     Sunnah Rasul yang meliputi budi pekerti dan pelaksanaan ibadah salat, puasa, zakat, serta haji.
d.    Sejarah hidup Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya.
e.     Kepribadian muslim yakni suatu kepribadian yang memupuk dan menyebarkan keadilan sosial secara merata, keadilan hukum sesama manusia, persamaan kemerdekaan, dan saling tolong menolong dalam kebaikan (Hamka, 1990 : 233-240)
Kelima pokok utama dakwah tersebut, dalam pandangan Hamka, juga merupakan tahapan-tahapan yang harus diperhatikan dalam penyajian materi dakwah pada masyarakat (Hamka, 1990: 240). Namun demikian, ia tidak menjelaskan tentang bagaimana pemilihan materi dakwah yang baik apabila masyarakat yang dihadapi bersifat majemuk. Sehubungan dengan itu M. Syafaat Habib menyatakan bahwa ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan materi dakwah yakni:
a.     Hendaknya materi itu bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadis.
b.    Hendaknya materi itu mampu memberikan pelayanan kemasyarakatan yang sesuai dengan kemampuan penerimanya.
c.     Hendaknya materi itu berfokus pada hidup kehidupan manusia, pembentukan watak untuk kebahagiaannya di dunia dan di akhirat
d.    Hendaknya materi itu mampu memberikan tuntunan keselarasan, keseimbangan dan keserasian hidup (M. Syafaat Habib, 1981: 101).
Pandangan di atas menunjukkan bahwa materi dakwah yang akan dikomunikasikan sangat luas cakupannya.

2.    Obyek dakwah

Menurut Hamka bahwa obyek dakwah adalah seluruh umat manusia. Yaitu manusia yang terdapat dalam segala sektor kehidupan, seperti pertanian, perniagaan, pekerjaan tangan, perburuhan dan pegawai. Masyarakat kampung dan kota, kaum terpelajar dan tidak terpelajar, jenis laki-laki dan wanita, usia muda dan tua (Hamka, 1990:233).
Pandangan di atas dapat dilihat dalam QS. Saba (34):28 yang ditafsirkan Hamka dengan "Tidaklah kami utus engkau melainkan merata untuk seluruh manusia. Maka segala manusia yang mendiami permukaan bumi ini adalah jadi tujuan dari dakwah Nabi Muhammad saw dengan tidak memandang batas daerah, tidak memandang warna kulit". (Hamka, juz 21, 1983: 166). Demikian pula  QS. al- A'raf (7): 158; al- Anbiya (21): 107, Hamka menyatakan bahwa " ayat-ayat tersebut memberikan pedoman bagi setiap umat Muhammad bahwa agama yang mereka peluk ini adalah untuk seisi dunia, bukan untuk orang Arab saja. Tidak terbatas untuk generasi tertentu. Dan agama ini adalah membawa rahmat bukan membawa bala bencana (Hamka, 1990 : 233)
Lebih lanjut, Hamka membagi obyek dakwah  yang didasarkan pada agama dalam dua skala makro, yakni kelompok Muslim dan non-Muslim. Hal ini sejalan dengan pemikirannya tentang pembagian dakwah kepada yang umum dan yang khusus (Hamka, juz 3, 1983 : 30)
Menurutnya dakwah yang umum terbagi dua, yakni: 1) Dakwah kepada umat Islam sendiri supaya memegang agama dengan betul dan beragama dengan kesadaran, dan 2) Dakwah kepada orang lain (non muslim) yang bertujuan untuk menjelaskan kemurnian agama keluar dan bersifat mengajak mereka supaya turut memahami hikmat ajaran Islam dan kadang-kadang bersifat menangkis serangan atau pandangan negatif terhadap Islam. Sedang dakwah yang khusus adalah dakwah yang dilakukan seorang Muslim di kalangan keluarganya sendiri (Hamka, juz 3, 1983 : 31)

Penutup
Pada akhir uraian ini, dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.    Dakwah dalam prespektif Hamka adalah amar ma'ruf nahi munkar. Hukumnya wajib dilaksanakan oleh uamat manusia, tetapi sifatnya dalam pandangan Hamka yakni; satu sisi ia menyatakan fard kifayah dan pada sisi lain menyatakan fard 'ayn bagi diri sendiri sesuai kemampuan.
2.    Materi dakwah adalah semua ajaran Islam yang tercantum dalam al-Qur'an dan al-Hadis. Adapun obyeknya adalah semua umat manusia.
3.    Tujuan dakwah identik dengan tujuan hidup manusia, yakni untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Daftar Rujukan
Departemen Agama RI. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1994.

Habib, M. Syafaat. Buku Pedoman Dakwah. Jakarta: Wijaya, 1981.

Hamka. Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990.

---------. Tafsir al-Azhar. Juz. 3. 4. 21. 24. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983.

Hasjmy, A. Dustur Dakwah menurut al-Qur'an. Jakarta: Bulan Binatang, 1974.

Mahfudz, Syakh Ali. Hidayat al-Murshidin. Kairo: Dar al-Kutub al-Arabi, 1952.

Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al- Maraghi, Juz 4 : Kairo: mustafa al-Halabi wa Awladuh, 1963.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid. I. Jakarta: UI-Press, 1985.

----------. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: UI-Press, 1992.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: L.P3ES, 1980.

Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al- Manar, Juz 4. kairo: al-Maktabah al-Qahirah, t.t.

Sanusi, Salahuddin. Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam. Semarang: CV. Ramadhani, 1964.

Shaleh, Abd. Rosyad. Manajemen Da'wah Islam. Jakarta: bulan Bintang, 1977.

Siddiq, Syamsuri. Dakwah dan Tehnik Berkhutbah. Bandung: PT. al-Ma'arif, 1987.