skip to main | skip to sidebar

ETOS KERJA DAN PENGEMBANGAN EKONOMI


Oleh Masmuddin

Abstrak :   Economic development can’t be separated with a work ethic because only with a high work ethic and effective way to develop the economy of a nation or society. In modern society, the work ethic is upheld because only people who have an effective work ethic that can develop its economy to the fullest. Without a work ethic, the economy may not grow as expected. Therefore there is no other way to develop the economy without having a good work ethic in various aspects of social life.
                  
Kata kunci : etos kerja, perkembangan ekonomi.

Pendahuluan
Berbicara masalah etos kerja dan perkembangan ekonomi adalah hal yang sangat menarik, sebab perkembangan ekonomi dalam suatu komunitas-komunitas sosial tidak dapat dipisahkan dengan etos kerja. Perkembangan ekonomi dalam suatu masyarakat sangat ditentukan oleh etos kerjanya.
Islam menempatkan budaya kerja bukan hanya sekedar sisipan atau perintah sambil lalu, tetapi menempatkannya sebagai tema sentral dalam pembangunan umat karena untuk mewujudkan suatu pribadi dan masyarakat yang tangguh hanya mungkin apabila penghayatan terhadap esensi bekerja dengan segala kemuliaannya dijadikan sebagai pokok kajian sampai menjadi salah satu kebiasaan dan budaya yang khas (Toto Tasmara, 1995: 7).
Namun demikian masih ada juga yang beranggapan bahwa perkembangan ekonomi seseorang atau kelompok masyarakat sangat bergantung pada nasib atau takdir yang telah ditentukan baginya oleh sang pencipta, sehingga meskipun mereka berusaha meningkatkan keadaan ekonominya kalau sudah takdirnya itu tidak akan berubah.
Pentingnya Etos Kerja dalam Masyarakat
Kata etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti adat kebiasaan, watak (karakter), moral (etika), cara mengerjakan sesuatu (Mubarok, 1989: 28). Dengan demikian maka etos kerja berarti watak dan kebiasaan manusia, perhatian dan moral kerja manusia, dalam mengerjakan sesuatu atau sesuatu yang telah menjadi watak kebiasaan/karakteristik dalam hidup.
Etos kata Geertz dalam Taufik Abdullah (1978: 3) adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Etos adalah aspek evaluatif yang bersifat menilai. Maka dalam hal ini bisa ditanyakan apakah kerja dalam hal ini lebih khusus usaha komersial dianggap sebagai suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu imperatif dari diri ataukah sesuatu yang terkait pada identitas diri yang telah bersifat sakral. Dari sudut perencanaan pembangunan hal ini menyebabkan kita mempersoalkan kemungkinan-kemungkinan besar sumber motivasi seseorang dalam perbuatannya. Artinya kita mempertanyakan pula dasar yang ampuh bagi apa yang biasa disebut partisipasi dalam pembangunan.
Pada umumnya watak manusia adalah bekerja. Dalam hubungannnya dengan Islam dapat dipahami bahwa Islam sebagai agama dinamis, memberi dorongan kepada manusia untuk bekerja. Bahkan semua agama samawi dalam sejarah perkembangannya, maupun ajarannya selalu memberi dorongan untuk bekerja. Atau dengan kata lain, etos kerja adalah bagian yang hidup dalam semua agama.
Manusia adalah makhluk kerja yang ada persamaannya dengan hewan yang juga bekerja dengan gayanya sendiri. Tetapi tentu lain dalam caranya. Hewan bekerja semata berdasarkan nauliriah, tidak ada etos, kode etik atau permintaan akal. Tetapi manusia memilikinya. Harus punya etos dan pendayagunaan akal untuk meringankan beban tenaga yang terbatas namun maupun meraih prestasi yang sehebat mungkin.
Bilamana manusia bekerja tanpa etos, tanpa moral dan akhlak, maka gaya kerja manusia meniru hewan, turun ke tingkat kerendahan. Demikian juga bila manusia bekerja tanpa menggunakan akal, maka hasil kerjanya tidak akan memperoleh kemajuan apa-apa.
Di sini lalu timbul pertanyaan, etos yang bagaimanakah yang diperlukan dalam bekerja untuk mencapai hasil yang baik dan mulia, terhormat dan berkah? Apakah etos itu didasarkan kepada tradisi, adat, kebiasaan, rumusan akal atau kebebasan (Hamzah Ya’kub, 1992: 1).
Ada anggapan yang mengatakan bahwa kaum muslimin di masa kita ini tidak mengalami kemajuan karena imannya baru pernyataan belum menjadi kenyataan. Beriman sudah tetapi belum beramal shaleh, yaitu belum bekerja secara optimal yang mengandung nilai-nilai kebajikan bagi umat manusia. Orang-orang Jepang sudah beramal shaleh melalui tim dan teknologinya, tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. Sungguhpun pernyataan itu masih ada konotasinya dan masih perlu dikaji ulang, namun boleh jadi dapat membuat umat Islam melek dan bangun dari kantuknya, bahwa sebenarnya kita ini belum beramal shaleh sebagaimana mestinya yang diamanatkan dalam Al-Qur’an. Itulah sebabnya jika belum meraih prestasi ilmu dan teknologi karena tidak berprestasi dalam pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia dewasa ini (Hamzah Ya’kub, 1992: 3)
Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya (Toto Tasmara, 1995: 2).
Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi diri untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal kreatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrah dirinya sendiri, menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia, untuk kemudian runtuh dalam kedudukan yang lebih hina dari binatang (Toto Tasmara, 1995: 172).
Dengan demikian tampaklah bahwa “bekerja” dan kesadaran jiwa mempunyai dua dimensi yang berbeda menurut takaran seorang muslim, yaitu bahwa makna dan hakekat “bekerja” adalah fitrah manusia yang secara niscaya, sudah seharusnya demikian (conditio sine quanon). Manusia hanya bisa memanusiakan dirinya lewat bekerja. Sedangkan kesadaran bekerja akan melahirkan suatu improvements untuk meraih nilai yang lebih bermakna, dia mampu menuangkan idenya dalam bentuk perencanaan, tindakan, serta melakukan penilaian dan analisa tentang sebab dan akibat dari aktivitas yang dilakukannya.
Dalam sebuah sabda Rasulullah SAW, yang artinya:

“Andainya seseorang mencari kayu bakar dan dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik dari pada kalau ia meminta-minta pada seseorang yang kadang-kadang diberi, kadang pula ditolak”
Dengan pernyataan hadis ini, maka tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk menganggur, apalagi menjadi manusia yang jumud kehilangan semangat inovatif. Karena sikap hidup yang memberikan makna apalagi menjadi beban dan peminta-minta, pada hakekatnya merupakan kehinaan. Dengan demikian, hanya pribadi-pribadi yang menghargai nilai kerja yang kelak akan mampu menjadikan masyarakatnya sebagai masyarakat yang tangguh.
Sebaliknya pribadi yang malas dan bermental pengemis hanyalah akan mengorbankan masyarakat dan bahkan generasinya sebagai umat yang kedodoran, terjajah dan terbelenggu dalam kategori bangsa yang memiliki nilai kelas teri. Tak punya wibawa, ke dalam tak mengganjilkan, keluar tak menggenapkan, ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berakar, wujuduhu kaadamihi, ada dan tiadanya sama saja, tidak menjadi perhitungan orang.
Inilah suatu sarkasme (sindiran) yang seharusnya membuat umat Islam terluka. Sebab apabila umat Islam mencampakkan penghargaan dan semangat untuk berkreasi, maka jadilah dia hanya sebagai objek yang rapuh dan akan menjadi santapan siapa pun yang mempunyai etos kerja tinggi, kendati dia itu seorang kafir sekalipun (Toto Tasmara, 1995: 8). Dengan kata lain, seorang muslim itu haruslah menjadi manusia yang memiliki semangat untuk menjadi manusia yang diperhitungkan. Mampu memberikan pengaruh kepada alam sekitarnya (rahmatan lil alamin) sehingga dengan cepat dia mampu dikenal, diperhitungkan, karena berhasil mengaktualisasikan prestasi dirinya secara mengagumkan dan signifikan.
Konsekuensi logis dari ajaran ini mempunyai makna bahwa siapa pun yang tidak bekerja, hidupnya tidak produktif dan tidak punya arti, maka dia telah berjalan di atas jalan yang sesat karena dia tidak mensyukuri nikmat hidup dan bahkan secara tidak langsung dapat dikategorikan sebagai orang yang mengkufuri (mengingkari) nikmat sehat sebagai anugrah dari Allah.
Bekerja adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdiannya kepada dirinya kepada Allah SWT.
Dikatakan sebagai aktivitas dinamis, mempunyai makna bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan seorang muslim harus penuh dengan tantangan (challenging), tidak monoton, dan selalu berupaya untuk mencari terobosan-terobosan baru (innovative) dan tidak pernah merasa puas dalam berbuat kebaikan (Toto Tasmara, 1995: 10).
Dari uraian-uraian tersebut di atas, tampak jelas betapa pentingnya etos kerja dalam masyarakat karena etos kerja dapat menentukan nilai suatu komunitas masyarakat, tinggi rendahnya nilai kemasyarakatan tergantung pada etos kerjanya.

Hubungan Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi
Etos kerja dan perkembangan ekonomi adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Masalah ekonomi dalam sebuah komunitas masyarakat adalah merupakan suatu pranata sosial yang sangat urgen.
Pada uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja didasarkan pada prinsip-prinsip keyakinan, bukan saja menunjukkan fitrah tetapi sekaligus meningkatkan martabat diri manusia (Toto Tasmara,     1995: 2).
Salah satu faktor yang membedakan keragaman masyarakat adalah pranata ekonomi yang berlaku di masyarakat, semakin kompleks perkembangan dan pembagian kerja masyarakat semakin rumit dan lengkap pranata ekonomi yang berlaku. Secara umum, fungsi manifest pranata ekonomi adalah mengatur hubungan antar pelaku ekonomi dan meningkatkan produktivitas ekonomi semaksimal mungkin. Pranata ekonomi juga berfungsi untuk mengatur distribusi serta pemakaian barang dan jasa yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia.
Di dalam masyarakat tradisional, sejumlah besar kegiatan ekonomi diorganisir dan muncul dari pranata keluarga. Setiap anggota keluarga langsung siap berpartisipasi dalam kegiatan langsung siap berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Keluarga bukan saja menjadi pusat dan sumber tenaga kerja, tetapi juga menjadi media sosialisasi untuk meneruskan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan ekonomi.
Kecenderungan yang berbeda terjadi ketika masyarakat berkembang makin modern dan kompleks. Kegiatan ekonomi mulai terpisah dari keluarga. Proses-proses ekonomi mulai banyak diambil alih oleh pranata lain, misalnya oleh pranata pendidikan yang bertugas mencetak sarjana-sarjana ulung yang diperlukan untuk mengisi lowongan kerja pada perusahaan atau pabrik-pabrik modern.
Keluarga dalam masyarakat modern bukan lagi pusat dan sarana dari pranata ekonomi, bukan lagi sumber tenaga kerja dan teknologi yang eksklusif kendati tetap penting sebagai pranata sumber-sumber norma dari tenaga kerja. Keluarga di sini menciptakan motif dasar yang diperlukan di dalam kerja manusia (Dwi Narwoko, 2004: 277). Dari uraian tersebut, tampak etos kerja sangat ada tujuannya dengan perkembangan ekonomi masyarakat.
Pembangunan ekonomi di Indonesia merupakan bagian penting dari pembangunan nasional yang dimulai sejak pelita pertama yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat. Selain peningkatan pendapatan lewat pertumbuhan produksi dan kesempatan kerja, proses pembangunan ekonomi juga membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi nasional (Adi Sasono, 1998: 13).
Dalam teori ekonomi klasik seperti yang dijelaskan oleh Adam Smith (1723-1790) dalam Robinson Taringan (2004: 45) bahwa agar masyarakat diberikan kebebasan seluas-luasnya dalam menentukan kegiatan ekonomi apa yang dirasa baik untuk dilakukannya. Sistem ekonomi pasar bebas akan menciptakan efesiensi, membawa ekonomi kepada kondisi-kondisi yang kondusif dan menjamin pertumbuhan ekonomi.
Di dunia ini, setiap orang melakukan kegiatan ekonomi yang berbeda-beda dengan seorang lainnya. Pelaku ekonomi dapat digolongkan dalam 3 golongan yaitu rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Rumah tangga adalah pemilik faktor produksi yang tersedia dalam perekonomian. Sektor ini menyediakan tenaga kerja dan tenaga usahawan (Sadono Sukirno, 2009: 37).
Di sisi lain pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sebagai serangkaian usaha perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi semakin meningkat. Sebagai implikasi dari perkembangan ini diharapkan kesempatan kerja akan bertambah, tingkat pendapatan meningkat, dan kemakmuran masyarakat menjadi semakin tinggi (Sukirno, 2007: 3).
Negara berkembang merupakan negara yang pada pertengahan abad yang lalu memiliki taraf pembangunan dan kemakmuran yang sangat rendah. Pada tahun 1950-an sebagian negara berkembang menurut pengamatan beberapa ahli ekonomi Barat, taraf hidupnya masih dibawa taraf negara pada saat negara-negara maju tersebut baru memulai pembangunan ekonominya di permulaan abad ke-19. Negara berkembang terutama terdiri dari negara-negara yang berada di tiga benua: Afrika, Asia dan Amerika Latin. Negara-negara di Afrika tergolong negara berkembang yang sangat miskin, sementara negara-negara di Amerika Latin tergolong sebagai negara berkembang yang relatif kaya (Sadono Sukirno, 2007: 4). Perdagangan biasa merupakan suatu pendorong penting bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi secara pesat. Hal ini dibuktikan oleh pengalaman sejumlah negara industri maju seperti Brazil, Taiwan, Korea Selatan dan para pengekspor minyak, baik yang bersatu dalam OPEC maupun yang berada di luar OPEC seperti Meksiko. Akses ke pasar negara maju merupakan suatu penunjang yang amat penting bagi peningkatan pendayagunaan segenap sumber daya tenaga kerja dan modal. Peningkatan pendapat devisa melalui perbaikan kinerja ekspor juga sangat penting bagi negara-negara berkembang dalam rangka m
Terbitkan Entri
engimbangi masalah kelangkaan sumber daya fisik dan finansial yang sangat mereka butuhkan sebagai landasan untuk melaksanakan usaha-usaha pembangunan pada umumnya (Michael P. Todaro, 2000: 449).
Dari pemaparan tersebut tampak jelas bahwa etos kerja dan pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan. Bahkan dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi seseorang atau suatu bangsa tergantung pada etos kerjanya.

Penutup
Dari uraian-uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa etos kerja bagi masyarakat sangat penting karena hanya masyarakat yang memiliki etos kerja yang tinggi yang dapat meraih kesejahteraan hidup. Bagi masyarakat atau individu yang tidak memiliki etos kerja yang baik dapat dipastikan tidak akan mengalami kemajuan dalam hidup ini.
Di sisi lain ajaran agama (Islam) memerintahkan mengenai etos kerja. Etos kerja dan perkembangan ekonomi masyarakat sangat erat hubungannya karena hanya individu-individu atau masyarakat yang banyak bekerja yang dapat menemukan pertumbuhan ekonomi yang gemilang. Bagi masyarakat yang etos kerjanya rendah, pertumbuhan ekonominya akan lemah pula.

Daftar Rujukan

Abdullah, Taufik (ed). Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3S, 1978.

Mubarok, Agama dan Etos Kerja Generasi Muda, Jakarta: Proyek Pembinaan Generasi Muda Departemen Agama RI, 1988-1989.

Narwoko, Dwi. Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Prenada Media, 2004.

Sasono, Adi. Solusi Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah), Jakarta: Gema Insani 1998.

Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Mikro Ekonomi, Cet. XVII, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2009.

-----------. Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan, Ed. 2, Cet, 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Taringan, Robinson. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Cet. I, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Tasmara, Toto. Etos Kerja Pribadi Muslim, Cet. II Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Todaro, Michael P. Pembangunan Ekonomi 2, Edisi kelima, Cet. I, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Ya’qub, Hamzah. Etos Kerja Islami, Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syari’at Islam, Cet. I, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.