skip to main | skip to sidebar

DAKWAH MELALUI FILM


Oleh Efendi P.


Abstrak :  Dakwah by film is better solution to change human feeling. Film as one of media have attractiveness to audience, not only when they watching, but it can be long time. Because what they seen is the same of reality, so they can influence. In other that, film as one of media to give religious information to society.
Kata-kata kunci :  dakwah, da’i, materi, metode, mad’u dan pluralis

Pendahuluan
Dari sekian banyak media massa yang ada, maka film merupakan salah satu media massa yang sangat efektif dalam pelaksanaan dakwah. Film memiliki daya tarik tersendiri, dan dapat disajikan dalam berbagai bentuk dan variasi sehingga dapat menimbulkan daya tarik bagi penontonnya.
Pengaruh film terhadap jiwa manusia sangat besar, ada yang positif ada yang negatif. Penonton tidak hanya terpengaruh sewaktu atau selama duduk menonton, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama. Yang mudah dan dapat terpengaruh oleh film ialah anak-anak dan remaja. Pengaruh film itu bukan hanya terbatas pada cara berpakaian dan cara bergaya saja tetapi sering menimbulkan pengaruh yang lebih jauh.Misalnya timbulnya kekerasan, kejahatan dan sebagainya disebabkan oleh pengaruh film (H.M. Iskandar,  2008:59-60).
Film sebagai salah satu bentuk media massa mempunyai peran penting di dalam sosialkultural, artistik, politik, dan dunia ilmiah (Worth dalam Gross, 5 Maret 2000:www.temple.edu). Pemanfaatan film dalam usaha pembelajaran masyarakat ini sebagian didasari oleh pertimbangan bahwa film mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film mempunyai kemampuan mengantar pesan secara unik (McQuail, 1994: 13). Selain tu film juga merupakan sebuah media hiburan yang sederhana dan murah (Jowett dan Linton, 1980: 15).
Film akan membawa dampak yang cukup besar dalam perubahan sosial masyarakat. Perubahan tersebut disebabkan oleh semakin bervariasinya proses penyampaian pesan tentang realitas obyektif dan representasi yang ada terhadap realitas tersebut secara simbolik serta sebuah kondisi yang memungkinkan khalayak untuk memahami dan menginterpretasi pesan secara  berbeda. Film sebagai salah satu jenis media massa menjadi sebuah saluran bagi bermacam ide, gagasan, konsep serta dapat memunculkan pluralitas efek dari penayangannya yang akhirnya mengarah pada perubahan pada masyarakat. Efek pesan yang ditimbulkan pada film dalam kemasan realitas simbolik ada yang secara langsung dirasakan pada khalayaknya bisa jadi berupa perubahan emosi namun ada pula yang berdampak jangka panjang seperti perubahan gaya hidup, idealisme atau malah ideologi. (McQuaill, 1997: 101).

Film sebagai Media Dakwah

Film yang merupakan hasil olahan dari beragam komponen, seperti perwatakan, kostum, properti, alur, plot dan lainnya mampu mengemas pesan maupun ideology dari pembuatnya serta menyampaikan realitas simbolik dari sebuah fenomena secara mendalam bahkan sampai pada tingkatan mengulas gaya hidup / life style. Life style dalam film dikemas dalam cerita, perwatakan, kostum hingga properti yang dipakai dalam setiap adegan. Format ini biasanya menjadi stereotype, karena film sesungguhnya hanya menggambarkan realitas simbolik dari realitas sesungguhnya yang bisa jadi hanyalah refleksi dari sebagian kecil unsur masyarakat atau malah refleksi dari masyarakat yang secara geografis berada di luar masyarakat yang menonton film tersebut.
Belakangan ini cara dakwah lewat film mulai banyak dilirik para aktivis dakwah di Indonesia. Kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta (AAC) menyedot  perhatian seluruh lapisan masyarakat (termasuk presiden dan para petinggi negeri ini lainnya) membuat sebagian aktivis dakwah tertarik untuk turut berdakwah melalui film. Menyusul AAC, kini telah dirilis “film dakwah” Kun  Fa Yakun (KFY) dan kabarnya karya best seller Kang Abik lainnya, Ketika  Cinta Bertasbih (KCB) pun akan segera difilmkan. Menurut mereka yang  tertarik untuk berdakwah melalui film, nasihat dapat  disampaikan tanpa terkesan menggurui.
Benarkah berdakwah lewat film adalah langkah yang tepat? Sejauh mana   afektivitas film untuk berdakwah?
Tujuan tak boleh menghalalkan semua cara, harus diakui bahwa tujuan mereka yang turut membidani lahirnya berbagai “film dakwah” adalah baik. Bagaimana mungkin dikatakan tujuannya tidak baik jika tujuan mereka adalah untuk mensosialisasikan Islam kepada  masyarakat, bagian dari dakwah, amar ma’ruf nahyi munkar? Tentu saja, ini merupakan tujuan yang mulia. Namun, harus diingat bahwa dakwah adalah  ibadah. Bukankah ibadah harus dilakukan dengan cara-cara yang benar? Cara yang syar’ie, cara yang dicontohkan oleh Rasulullah. Bukankah amal hanya akan diterima jika tujuan (niat) dan cara yang ditempuh, keduanya benar? (Dody Nur Andryan, 2008)
Mungkin masalah ini bisa dianalogikan dengan seseorang yang menyantuni fakir-miskin dengan harta hasil curian. Bukankah tujuannya (dalam hal ini menyantuni fakir-miskin) adalah hal yang baik, bahkan diperintahkan Allah dan Rasul-Nya? Namun, cara yang ia lakukan (yaitu mencuri untuk  mendapatkan harta yang akan disedekahkan) adalah cara yang haram. Apakah  tindakannya ini (menyantuni fakir-miskin dengan harta hasil curian) dapat dibenarkan? Apalagi dianggap sebagai ibadah? Bukankah Allah itu Maha Baik dan tidak akan menerima kecuali yang baik?
Harus diakui bahwa terdapat banyak larangan-larangan syariah yang dilanggar dalam pembuatan film. Hal tersebut sesuai hasil pengamatan terhadap “film-film dakwah” dan (“sinetron-sinetron dakwah”) yang beredar dan ditayangkan di televisi, tetapi mungkin bisa digeneralisasi untuk film dakwah pada umumnya, meski  pun mungkin ada yang tidak demikian.
Pertama, kita tahu bahwa film selalu berusaha menyajikan suatu cerita       senyata mungkin hingga seolah itu merupakan sebuah kenyataan. Para       pemainnya pun dituntut untuk memerankannya senatural mungkin. Termasuk jika yang dikisahkan itu kehidupan keluarga (yang terdiri atas perempuan dan mahramnya) atau kehidupan suami istri. Dalam kehidupan nyata, bercengkerama antar anggota keluarga adalah sesuatu yang wajar, tidak   haram. Bersentuhan antara suami-istri adalah hal yang dibolehkan. Namun, bagaimana jadinya jika fragmen kehidupan ini difilmkan? Apakah pemerannya  adalah betul-betul satu keluarga atau suami istri? Bukankah fragmen  kehidupan ini menjadi haram jika diperankan? Selain itu, dalam kehidupan nyata, seorang perempuan boleh menanggalkan jilbabnya di rumah dan hanya di depan mahram (atau sesama perempuan lainnya). Dalam film, tidak jarang  aktivitas perempuan di dalam rumah ikut difilmkan dan untuk membuat film tersebut tampak nyata, aktrisnya pun dituntut untuk membuka aurat yang seharusnya hanya boleh ia lakukan di depan mahramnya. Bukankah ini berarti dalam pembuatan film ada keharaman?
Kedua, kita tahu bahwa interaksi laki-laki dan perempuan non mahram       hanya diperbolehkan dalam dakwah, pendidikan, dan muamalah lainnya. Kita       pun tahu bahwa dalam latihan sebelum take adegan, selalu terjadi interaksi  laki-laki dan perempuan di luar hal–hal yang diperbolehkan tersebut. Bahkan, seringkali terjadi ikhtilath. Bukankah ini juga berarti ada keharaman dalam pembuatan film?
Ketiga, ketika objek dakwah (dalam hal ini penonton) menonton film yang diproduksi dengan banyak keharaman, mereka pun harus menyaksikan adegan-adegan haram tersebut. Bahkan bagi penonton laki-laki, ia menjadi tidak bisa menjaga pandangannya. Bukankah ketika ia menonton “film dakwah” itu  berarti ia pun harus melihat aurat perempuan yang bukan haknya?
Efeknya tidak banyak dan tidak lama  mungkin benar, AAC dan “film dakwah” lainnya berhasil menyampaikan beberapa pesan keislaman pada masyarakat dan sedikit mempengaruhi  masyarakat. Namun, mari kita lihat berapa lama pengaruh itu dapat  bertahan? yakin tidak akan lama. Kenapa? karena film hanya menyampaikan sekilas dan itu pun hanya menyentuh perasaan penontonnya saja, tidak menyentuh akalnya apalagi keimanannya. Bagaimana mungkin akan menyentuh akal dan keimanan jika tidak disampaikan alasan kenapa tidak boleh begini  dan harus begitu?! Ketika ada beberapa penonton mengubah sikap atau  perilakunya setelah menonton film, itu karena perasaannya mengatakan bahwa  sikap atau perilaku tersebut baik, seperti dalam film. Bukan karena ia memahami dan meyakini bahwa itu dperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika memang film adalah media dakwah yang efektif, logikanya orang-orang yang terlibat dalam film itu seharusnya mendapatkan efek paling banyak. Namun kita lihat, bahkan para pemain utamanya pun tidak banyak terpengaruh dengan film itu. Bahkan, salah satu pemainnya mengatakan, “Inikan hanya film! Aku menjadi seperti itu, hanya tuntutan peran!”.
Film melibatkan semua aspek media yang bisa ditangkap panca indera kita, jadi lebih mudah untuk dicerna dan diresapi makna yang terkandung di       dalamnya.Ditilik dari sejarah ketika jaman penjajahan Jepang, film adalah media propoganda yang cukup efektif, lihat saja banyak orang menangis, tersentuh oleh film yang ditontonnya, film punya efek magis terhadap penontonnya.
Memang industri perfilman Indonesia sudah mulai mengkokohkan dirinya di  dalam negeri sendiri di tengah membanjirnya film-film asing. Dan AAC bisa  menjadi lokomotif perfilman islami tanah air yang disesaki oleh hal-hal  mistik dan berbau takhayul. Inilah eranya sineas muda muslim untuk   menunjukkan bahwa Islam itu tidak gelap, Islam itu mencerahkan dan tidak  memaksa malah memudahkan hidup kita. Dan film bisa menjadi media jihad kita untuk menyebarkan pesan perdamaian  kepada dunia. Film dapat membuat penonton sedih, menangis, ketawa dan lain-lain, karena dapat menyentuh perasan tetapi belum bisa menyentuh keimanan  seseorang. Film bisa jadi efektif jika esensi yang akan disampaikan dikemas dengan baik  dan menyentuh sanubari penikmat film. AAC pun terjadi pelanggaran syariat, kalau kita lebih jeli. berdakwah itu dari berbagai macam jalan?  Apakah film-film AAC, KFY, KCB itu dibuat untuk tujuan dakwah? Apakah bukan untuk tujuan komersiil belaka? Inilah pintarnya pengusaha perfilman. Ketika pasar sedang sensitif terhadap tema-tema cinta, Islam dll, mereka menjual film yang bertemakan itu. (Achmad Ubaidillah, Internet Kamis 13 Maret 2008).
Film adalah salah satu Media audio visual yang merupakan salah satu perangkat komunikasi yang dapat ditangkap baik melaui indra pendengar, maupun penglihatan. Apabila dibandingkan dengan media lainnya, ternyata media audio visual lebih paripurna. Sebab media ini dapat dimanfaatkan oleh semua kalangan masyarakat.
Film merupakan perangkat komunikasi yang mampu menyerap komunikan secara luas. Film sangat memikat komunikannya karena operasionalisasi dari film itu didahului oleh adanya periapan yang sangat cukup matang, seperti adanya: naskah cerita, scenario, shooting  dan acting dari pemeran utama dan yang lainnya.

Pengaruh Film Terhadap Jiwa Manusia
Pembuatan film dimulai pada awal abad ke 19 dan pada akhir abad ke 18. Di Amerika Serikat sudah dimulai sejak tahun 1895 dengan film bisu yang kemudian berkembang film ceritera bisu, film bicara (hitam putih), film berwarna dan sampai sekarang film bicara berwarna dengan layer lebar.
Dakwah melalui film lebih komunikatif sebab materi dakwah dapat diproyeksikan dalam suatu scenario film yang memikat dan menyentuh keberadaan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Pemanfaatan film cenderung lebih efektif dan efisien serta sangat actual sesuai dengan perkembangan masyarakat. Hal ini disadari karena film membawa pesan yang mampu mempengaruhi penontonnya sebagai sasaran dakwah (mad’u)nya. Itulah sebabnya film dalam kegiatan dakwah seharusnya ditata rapi dan mengandung nilai-nilai ajaran moral islami yang sesuai dengan kebutuhan mad’unya (Ghazali, 1997: 39-40).
Kehadiran media massa baik media cetak maupun media elektronik sangat membantu dalam kehidupan manusia. Sebab melalui media tersebut manusia dapat menyampaikan aspirasi dan ide-idenya, dan dari media tersebut pula manusia mendapatkan informasi. Film sebagai salah satu media dakwah memiliki fungsi dan tujuan yang cukup jelas sebagaimana media massa lainnya
1. Fungsi dan tujuan film
Film sebagai salah satu dari media massa yang ada, memiliki berbagai macam fungsi dan tujuan sebagai berikut:
a.        Sebagai pernyataan seni (media seni), yaitu film yang sejak semula telah diniatkan untuk dibuat sebagai karya seni yang menonjol.
b.       Sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka “nation and character building”
c.        Sebagai media hiburan dan barang dagangan yang berhasil dipasaran (Effendy, 1986: 239).
2. Film dilihat dari segi kategori
Apabila dilihat dari segi kategori film, maka film dapat kelompok dalam empat kategori, yaitu:
a.     Film-film yang sesuai untuk ditonton umum (semua umur)
b.    Film-film yang sesuai untuk orang-orang dewasa dan anak-anak yang berumur 17 tahun ke atas dan diizinkan nononton dengan izin tertulis dari orang tua mereka
c.     Film-film yang cocok untuk orang-orang dewasa dan anak-anak berumur 17 tahun ke atas yang diizinkan nonton dengan disertai orang tuanya atau orang yang sudah dewasa lainnya
d.    Film-film yang terlarang bagi anak-anak yang di bawah umur 17 tahun (Effendy, 1986: 217).

3. Jenis-jenis film dan sifatnya
Dari segi jenis-jenis film dan sifatnya, maka dapat dibagi kedalam tiga jenisnya, yaitu:
a.     Film cerita (story film)
b.    Film berita (newsreel)
c.     Film dokomenter (Decumentary film)
d.    Film cartoon (cartonic Film) (Effendy, 1986: 222-227).
4. Kekuatan dan kelemahan media film
a.   Kekuatan
    1) Para penonton film terutama yang berada di gedung bioskop merupakan penonton yang seolah-olah terisolir dari pengaruh luar karena demikian film akan main/mulai diputar, lampu dimatikan dan pintu-pintu ditutup sehingga penonton dapat konsentrasi memusatkan segala perasaannya.
   2) Komunikan film lebih sempurna daripada komunikan dalam pers dan radio, lebih-lebih sekarang dengan dipergunakannya layar lebar, filmnya berwarna dengan sound affect yang sempurna maka penonton seakan-akan menyaksikan peristiwa sungguhnya (Sunarjo, 1983:34-35).
b. Kelemahannya
    1) Bahwa dengan ruangan yang digelapkan maka penonton yang terisolir cenderung pada sifat yang pasif artinya menerima saja apa yang dilihat. Berbeda sekali kalau kita membaca surat kabar atau mendengarkan radio di mana biasanya komunikan mempunai tanggapan-tanggapan sendiri dalam pikiran kita sehingga komunikan cenderung bersifat aktif.
   2) Untuk penonton film diperlukan waktu tertentu dan harus dating pada gedung bioskop tertentu pula, jadi tidak seperti surat kabar, radio dan televise yang dapat dinikmati di rumah, sambil istirahat dan sebagainya (Sunarjo, 1983:34-35). Dari segi pengaruh yang ditimbulkan oleh film  terhadap jiwa manusia sangat besar pengaruhnya, sebabnya  antara lain: Suasana dalam gedung bioskop sendiri dan Sifat dari medium massa itu sendiri (Effendy, 1986: 218).
Sekarang adalah dunia digital, untuk menikmati sebuah film tidak perlu lagi mendatangi bioskop seperti masa lalu. Dengan dunia digital orang dapat menonton berbagai jenis film  lewat televise di rumah masing-masing.
Film Izinkan Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002) dan Buruan Cium Gue (2004) adalah sedikit contoh konkrit yang berkait dengan perkara kata, Izinkan Aku Ingin Menciummu Sekali Saja. Film ini mendapat  protes sebagian masyarakat termasuk ustaz Aa Abdullah Gymnastiar dengan memberikan penafsiran sebagai ”ajakan berzinah” sehingga produsernya, Raam Punjabi, menariknya dari peredaran dan merevisi di sana-sini, dan judulnya bermimikri menjadi Satu Kecupan.
Sekarang hadir sebuah film AAC, KFK, KCB, disatu sisi sangat banyak meminati, tetapi itu juga melahirkan pro dan kontra dan menimbulkan pertanyaan apakah semua itu dibuat untuk tujuan dakwah? Apakah bukan untuk tujuan komersiil belaka? Menurut saya film itu diproduksi tidak murni untuk tujuan dakwah, karena isinya tidak semua mengandung nilai-nilai ang islami. Tetapi itu tidak lepas dari usaha dagang, dan di sinilah pintarnya pengusaha perfilman. Ketika pasar sedang sensitif terhadap tema-tema cinta, Islam dll, mereka menjual film yang bertemakan itu.
Dilain pihak film adalah medium dakwah yang ampuh sekali. Bukan saja untuk hiburan tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah-ceramah, pendidikan banyak digunakan film sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan. Bahkan filmnya sendiri banyak yang berfungsi sebagai medium dakwah secara penuh bukan lagi sebagai alat pembantu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengaruh film besar sekali. Tergantung dari film itu sendiri, film yang ceritanya bagus sudah barang tentu akan berpengaruh baik kepada masyarakat demikian sebaliknya.
Akhir abad XX  dewasa ini adalah masa terjadinya banjir media massa dan menjurus kepada terjadinya kekerasan media massa yang sukar diabaikan oleh pembentuk-pembentuk watak manusia. Media massa seperti surat kabar, televisi, radio, film, teater, majalah dan sebagainya, oleh para da`i harus dimanfaatkan seefektif mungkin, sebab bila tidak demikian, media tersebut akan cenderung berupa alat sekularistis yang akan mendangkalkan penghayatan keagamaan umat Islam.
Mengingat pentingnya pemanfaatan media massa tersebut, maka diperlukan teknik penyajian yang menarik, seperti penggunaan kesenian dan kebudayaan untuk dakwah, cerita-cerita rakyat seperti wayang dan lakon-lakon lainnya, ceramah agama. Karena itu pemanfaatan media secara efektif memerlukan keterampilan dan keahlian bagi pemakai media itu.
Menyiapkan penyiaran dan perfilman, agar dunia film suatu waktu akan dipengaruhi dengan cerita yang menyebabkan orang asyik menontonnya dan barulah pada akhirnya menarik nafas puas, karena film itu ternyata film yang bernada agama.


Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut;
1.    Film adalah salah satu media audiovisual yang merupakan salah satu perangkat komunikasi yang dapat ditangkap baik melaui indra pendengar, maupun penglihatan.
2.    Film sangat memikat komunikannya karena operasionalisasi dari film itu didahului oleh adanya periapan yang sanggat cukup matang, seperti adanya: naskah cerita, scenario, shooting  dan acting dari pemeran utama dan yang lainnya.
3.    Dakwah melalui film memang akan lebih efektif dibandingkan dengan media lainnya. Sebab penyajiannya dapat diatur dalam berbagai bentuk dan variasi sehingga kesannya tidak seperti menggurui.
4.    Pengaruh dakwah melalui film dapat dilihat sejauhmana film memberikan kesan terhadap menonton. Selain itu, terpulang kepada penonton sejauhmana penonton mengambil dan menaplikasikan apa yang mereka tonton.


Daftar Rujukan

Effendy, Onong Uchjana. Dimensi-Dimensi Komunikasi, Cet. II; Bandung: Alumni, 1986.

Ghazali, M. Bahri. Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah, Cet. I; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997.

Iskandar, H.M.  Ilmu Dakwah, Cet. I; Palopo: LPK  STAIN, 2008.

Sunarjo dan Djoenaesih S. Sunarjo, Himpunan Istilah Komunikasi, Cet. I; Yogyakarta: Liberty, 1983

Ubaidillah, Achmad. Internet Kamis 13 Maret 2008

Weblog, Rofiq`s  2008
Andryan, Dody Nur. Internet,   2008
Blog Tempo Interaktif, 2008
Budiman, Andy. Internet,  2008