Oleh Masmuddin
Abstrak : In Islam, da’wah and community are inseparable because of being subjected to dakwah in Islam is a community or congregation. In the social life of society is not static, is always changing and evolving in according to the changes and the times. Islam is a doctrine that includes instructions on all aspects of human life, including how that society should change and development. Da'wah in this case provides clues about how people make a change that is positive, including in relation to social life. Because it preaches to contain clues about the changes and development of society.
Kata kunci : Dakwah, perkembangan masyarakat
Pendahuluan
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa perkembangan masyarakat semakin mengalami perubahan ke arah kemajuan seiring dengan kemajuan teknologi, komunikasi dan informasi. Alvin Toffler Alvin Toffler, (1981) seorang futurolog pernah mengatakan bahwa perkembangan dunia dibagi menjadi tiga zaman, yaitu: agriculture era, industrialitation era, dan era information. Zaman ini disebut juga era globalisasi karena dunia ini tidak lagi dibatasi jarak dan waktu.
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membawa dua dampak yaitu dampak positif dan negatif. Sisi positifnya dapat dilihat dengan masuknya informasi lewat media massa baik elektronik maupun cetak. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dapat membawa kemudahan bagi manusia, memperkaya informasi, menambah wawasan kecerdasan dan lain-lain. Selain sisi positif tersebut juga membawa dampak negatif seperti halnya apa yang disaksikan melalui realitas yang ada sekarang. Kedua dampak inilah yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.
Islam sebagai agama dakwah melalui ajarannya telah memberikan solusi alternatif bagi pemecahan masalah. Dakwah pada hakekatnya merupakan upaya untuk mempengaruhi seseorang dalam bertindak dan berperilaku. Dengan dakwah diharapkan mampu mengubah kepribadian secara individu maupun kolektif. (Bahri Ghazali, 1997: 45)
Dalam pengertian immaterial, berarti dakwah sebagai aktivitas yang mampu melakukan perubahan perilaku dan pola pikir, sehingga orientasi pemikiran manusia menuju ke arah yang lebih positif. Oleh Karena itu dakwah dalam Islam adalah aktivitas yang sangat mulia yang oleh istilah al-Qur’an ahsanu Qaulan yakni perkataan dan perbuatan yang terbaik. (Q.S. Fushilat : 33).
Dalam Islam, sasaran dakwah adalah seluruh umat manusia (masyarakat). Keberhasilan dakwah ditentukan oleh faktor-faktor yang berpengaruh, salah satu diantaranya adalah adanya lingkungan mad’u yang dikenal sebagai masyarakat.
Dengan demikian yang menjadi fokus pembahasan makalah ini ialah :
1. Apa hubungan dakwah dengan perkembangan masyarakat?
2. Bagaimana problematika dakwah dalam mengahadapi perkembangan masyarakat?
Hubungan Dakwah dan Perkembangan Masyarakat
Untuk melihat lebih jelas apa hubungan dakwah dan perkembangan masyarakat, maka perlu didahului dikemukakan pengertian dakwah sebagai berikut: secara harfiah (etimologi) kata dakwah menurut Muhammad Fuad (1984: 40) mengandung arti antara lain: ajakan, panggilan, seruan, permohonan (do’a), pembelaan dan lain sebagainya. Pemahaman seperti ini dapat dijumpai di dalam ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut: (Q.S. al-Baqarah/2:221), (Q.S. Yusuf/12: 33), (Q.S. al-Anfal/8: 24) dan (Q.S. al-Baqarah/2:186).
Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa kata dakwah umumnya dipahami sebagai ajakan kepada hal-hal yang baik (positif), sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah: 221. Hal ini berarti bahwa Allah mengajak hamba-Nya untuk melakukan sesuatu yang menyebabkan mereka masuk ke dalam surga, yaitu berpegang teguh pada agama-Nya.
Akan tetapi, al-Qur’an juga menggunakan kata dakwah dalam pengertian yang ditujukan untuk hal-hal yang tidak baik (negative). Sebagaiman dalam Q.S. al-Baqarah : 221 dijelaskan bahwa orang-orang kafir mengajak ke dalam neraka, dan dalam surah Yusuf: 13 menggambarkan bahwa Zulaikha mengajak Nabi Yusuf as. untuk melakukan hal yang terlarang.
Ayat-ayat tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kata dakwah memiliki dua pengertian yang berbeda. Pertama, dakwah sebagai seruan, ajakan dan panggilan menuju surga, dan kedua dakwah sebagai seruan, ajakan dan panggilan ke neraka.
Secara terminologi pengertian dakwah dapat dilihat secara konseptual dan secara teknis operasional. Secara konseptual, dakwah diarahkan pada usaha merubah sikap beragama dari masyarakat penerima dakwah dan dalam pelaksanaannya dakwah dilakukan dengan jiwa tulus serta ikhlas.
Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan idealism dakwah yang bertujuan agar manusia mengikuti jalan lurus yang telah digariskan oleh Allah SWT, sehingga mereka selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Hal ini juga berarti ajakan untuk merubah keadaan manusia kepada yang lebih baik, secara fisik maupun mental (min al-dlulumat ila al-nur), sesuai dengan yang dirumuskan al-Qur’an. Di antara ayat-ayat tersebut, Allah berfirman dalam Q.S. Yusuf : 108.
“Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.
Menurut Sayyid Quthub (1987: 2023), pengertian dakwah menurut ayat-ayat ini adalah mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan aqidah dan syariat Islam yang telah ditetapkan Allah SWT, menjadi jalan (pedoman) hidup manusia yang telah terlebih dahulu telah diyakini dan diikuti oleh juru dakwah sendiri. Dengan kata lain, seorang juru dakwah harus benar-benar memahami, mengetahui dan sekaligus menjalankan tuntutan Allah dengan penuh pengertian dan kesadaran serta dengan suatu keyakinan yang teguh memurnikan ke-Esaan Allah.
Secara teknis operasional, rumusan dakwah diarahkan kepada subjek atau juru dakwah. Pemahaman ini dapat diperoleh dari ayat-ayat yang menjelaskan tentang bagaimana sikap, tindakan atau perilaku yang harus dimiliki oleh seorang juru dakwah dalam menjalankan misi dakwahnya. Dengan kata lain, pengertian dakwah yang dirumuskan al-Qur’an lebih ditekankan pada aspek teknis penyampaian dakwah itu sendiri, yakni berupa sikap, tindakan maupun perilaku dalam berdakwah.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung pengertian teknis operasional dakwah, antara lain:
“Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan” (Q.S. al-Fath/48:8).
Menurut Al-Maraghi (1974: 91), ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah mengutus Rasul sebagai pemberi kabar gembira (surga) bagi orang-orang yang memenuhi ajakannya dan sebagai pemberi peringatan tentang adanya adzab Allah bagi mereka yang berpaling dari ajaran-Nya. Ayat ini juga menjelaskan bahwa Rasul sendiri berperan sebagai saksi atas umatnya tentang sambutan mereka atas dakwah Nabi.
Menurut al-Bahy al-Khauly (1987: 35), dakwah adalah usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat. Pengertian ini menunjukkan bahwa esensi dakwah bukan hanya terletak pada usaha mengajak kepada keimanan dan ibadah saja, lebih dari itu dakwah adalah usaha penyadaran manusia atas keberadaan dan keadaan hidup mereka. Barangkali yang dimaksud dengan pengertian dakwah ini sesuai dengan pendapat Munir Mulkhan (1996: 205), bahwa dakwah bermakna usaha pemecahan suatu masalah dan pemenuhan kebutuhan manusia.
Al Mahfuzh dalam bukunya “Hidayat al-Mursyidin”, memberikan defenisi dakwah sebagai berikut:
“Mendorong (memotivasi) ummat manusia melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah mereka berbuat makruf dan mencegahnya dari perbuatan mungkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat”. (Syekh Ali Mahfudz, 1975: 7).
Beberapa pengertian dakwah tersebut, meskipun dituangkan dalam bahasa dan kalimat yang berbeda, tetapi kandungan isinya tetap sama bahwa dakwah dipahami sebagai seruan, ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat Islami berdasarkan kebenaran ajaran Islam yang hakiki.
Oleh karena itu, dari beberapa defenisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, pertama dakwah merupakan suatu proses usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja, sehingga diperlukan organisasi, manajemen, sistem, metode dan media yang tepat. Kedua, usaha yang diselenggarakan itu berupa ajakan kepada manusia untuk beriman dan mematuhi ketentuan-ketentuan Allah, amar ma’ruf dalam arti perbaikan dan pembangunan masyarakat, dan nahi munkar. Ketiga, proses usaha yang diselenggarakan tersebut berdasarkan suatu tujuan tertentu, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang diridhai Allah.
Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup bersama. (M. Quraish Shihab, 1996: 319). Manusia adalah makhluk sosial, Q.S. al-Hujurat ayat 13 secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan terdiri dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal. Dengan demikian dapat dipahami bahwa menurut al-Qur’an manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat adalah merupakan suatu keniscayaan bagi mereka. Gerakan sosial adalah tindakan kolektif yang terorganisir secara longgar untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat (Piot Sztompka, 2004: 325). Giddens dalam J. Dwi Narwoko, 2004: 342) mengatakan kita hidup di era perubahan sosial yang mengagumkan, yang ditandai dengan transformasi yang sangat berbeda dari yang pernah terjadi sebelumnya. Yang demikian itu berarti bahwa realitas sosial adalah sebuah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam sebuah komunitas masyarakat adalah perubahan yang bersifat positif dan negatif. Selanjutnya Ginsberg, mengatakan bahwa perubahan sosial sebagai suatu perubahan penting dalam struktur sosial, termasuk di dalamnya perubahan norma, nilai dan fenomena kultural. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah kenyataan adalah bahwa setiap masyarakat selalu mengalami perubahan-perubahan termasuk pada masyarakat primitif dan masyarakat kuno sekalipun. Islam sebagai ajaran ilahi yang sempurna dan paripurna memuat berbagai aspek yang terkait dengan hidup dan kehidupan manusia, termasuk di dalamnya aspek perubahan. Konsep mengenai perubahan masyarakat termuat dalam kitab suci umat Islam yaitu al-Qur’an misalnya Q.S. Yusuf ayat 11, “sesungguhnya Allah tidak akan merubah apa yang terdapat pada keadaan suatu kaum atau masyarakat, sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka.
Ayat tersebut berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah SWT dan yang kedua perubahan keadaan diri manusia yang pelakunya adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang ditetapkannya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih atau membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Siapapun yang mengabaikan akan digilasnya, sebagaimana yang terjadi kini dan pada masyarakat Islam, dan sebagaimana yang pernah terjadi pula pada masyarakat yang dipimpin Nabi Muhammad SAW. (M. Quraish Shihab, 1993: 246).
Setiap masyarakat memiliki ciri-ciri yang melekat padanya, terutama masalah watak sikap atau perilaku masyarakat itu. Pada dasarnya setiap anggota masyarakat memiliki karakter yang berbeda sesuai dengan budayanya masing-masing. Hal ini tentu merupakan salah satu ciri daripada masyarakat. Sebab pada hakekatnya masyarakat merupakan kelompok orang yang berkumpul dalma suatu tempat yang melakukn suatu kesepakatan bersama untuk dipatuhi (Bahri Ghazali, 1997: 46).
Dengan demikian tampak bahwa dakwah dan perkembangan serta kemajuan masyarakat berkaitan erat bahkan tidak dapat dipisahkan. Dakwah merupakan tuntunan dalam menata kehidupan masyarakat demi kemaslahatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
Problematika Dakwah dalam Menghadapi Perkembangan Masyarakat
Perkembangan masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Hal ini sangat memungkinkan, karena manusia secara “fitrah” diciptakan sebagai makhluk sosial yang hanya bisa bertahan hidup secara bersama.
Dakwah adalah upaya untuk mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna baik terhadap individu maupun masyarakat. Pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan yag dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual serta sosial-kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia, dengan menggunakan cara tertentu (Amrullah Achmad, 1983). Sistem dakwah memiliki fungsi mengubah lingkungan secara lebih terinci yang memiliki fungsi: meletakkan dasar eksistensi masyarakat Islam, menanamkan nilai-nilai keadilan, samaan, persatuan, perdamaian, kebaikan dan keindahan sebagai inti penggerak perkembangan masyarakat; membebaskan individu dan masyarakat dari sistem kehidupan zhalim (tirani, totaliter) menuju sistem yang adil, menyampaikan kritik sosial atas penyimpangan yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka mengemban tugas nahi munkar, dan memberi alternative konsepsi atas kemacetan sistem, dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf; meletakkan sistem sebagai inti penggerak jalannya sejarah.
Dalam kaitan dengan makna dakwah ini, menurut Ahmad Watik Pratiknya (1989), ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan secara saksama agar dakwah dapat dilaksanakan dengan baik.
Pertama, dakwah sering disalah mengertikan sebagai pesan yang dating dari luar. Pemahaman ini akan membawa konsekuensi kesalahlangkahan dakwah, baik dalam formulasi pendekatan atau metodologis, maupun formulasi pesan dakwahnya. Karena dakwah dianggap dari luar, maka langkah pendekatan lebih diwarnai dengan pendekatan interventif. Dan para dai lebih mendudukkan diri sebagai orang asing, tidak terkait dengan apa yang dirasakan, dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Kedua, dakwah sering diartikan menjadi sekadar ceramah dalam arti sempit. Kesalahan ini sebenarnya sudah sering diungkapkan, akan tetapi di dalam pelaksanaanya tetap saja terjadi penciutan makna, sehingga orientasi dakwah sering pada hal-hal yang bersifat rohani saja. Istilah dakwah pembangunan, adalah contoh yang menggambarkan seolah-olah ada dakwah yang tidak membangun, atau dalam makna lain, dakwah yang pesan-pesannya penuh dengan titipan sponsor.
Ketiga, masyarakat yang dijadikan sasaran dakwah sering dianggap masyarakat yang vacuum ataupun steril. Padahal dakwah sekarang ini berhadapan dengan suatu setting (latar belakang) masyarakat dengan beragam corak dan keadaannya, dengan berbagai persoalannya, masyarakat yang serba nilai dan majemuk dalam tata kehidupannya, masyarakat yang berubah dengan cepatnya, yang mengarah pada masyarakat fungsional, masyarakat teknologis, masyarakat saintifik, dan masyarakat terbuka. Karena itu, sudah tidak ada tempatnya lagi, apabila kita tetap mempertahankan kegiatan dakwah yang asal-asalan.
Keempat, memang benar pula, bahwa Allah SWT, akan menjamin kemenangan al-haq yang kita dakwahkan, karena yang haq jelas akan mengalahkan yang bathil, sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya Q.S. al-Isra: 81.
Akan tetapi, kita sering lupa bahwa untuk berlakunya Sunnatullah tersebut, dibutuhkan Sunnatullah yang lain, yaitu kesungguhan.
Kelima, ada kecenderungan pada sementara kalangan dai untuk melakukan kegiatan dakwah secara individual, tanpa terkait dengan dai-dai lainnya untuk melakukannya secara bersama-sama. Akibatnya, dakwah yang dilakukannya hanyalah terbatas pada dakwah bil-qaul (dengan lisan). Mungkin juga tanpa perencanaan yang matang. Apalagi, tanpa evaluasi pada setiap langkahnya. Dan lebih berbahaya lagi, apabila setiap dai dalam melakukan kegiatan dakwahnya berusaha untuk menyesuaikan dengan hobi dan kesenangan masyarakat pendengarnya. Sehingga meskipun sering berceramah, perubahan pada masyarakat sasarannya hamper tidak ada. Karena itu, sudah waktunya dakwah dilakukan dalam sebuah organisasi yang rapi dan teratur, dalam sebuah amal jama’I yang memadukan berbagai keahlian, profesi dan kekuatan. Di situ terdapat ahli perencanaan, ahli pendidikan, ahli komunikasi, ahli psikologi, ahli pertanian, ahli kesehatan, dan ahli-ahli bidan lainnya. Dalam organisasi dan lembaga tersebut direncanakan dengan matang materi dan metode dakwah, sasaran yang mau dicapai, termasuk klasifikasi sasaran dakwah dan juga langkah-langkah evaluasinya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian terdahulu dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
Dakwah dalam Islam adalah sebuah upaya untuk mengajak manusia kepada jalan yang benar yang diridhai oleh Allah SWT. Dakwah masa kini tidak cukup dimaknai sebagai aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar saja, tetapi lebih jauh dakwah dapat dimaknai sebagai upaya untuk menciptakan memaslahatan hidup manusia sesuai bidang yang digelutinya masing-masing.
Dakwah dan perkembangan masyarakat tidak dapat dipisahkan, karena sasaran dakwah dalam Islam adalah manusia tanpa kecuali. Manusia, secara sosiologis cultural selalu mengalami perubahan-perubahan, disinilah dakwah berperan sebagai agen perubahan masyarakat yang selalu menuntun manusia kea rah yang lebih baik.
Islam adalah ajaran agama yang dinamis, tidak statis karena itu ajarannya sangat fleksibel dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman dan dinamika kehidupan masyarakat, namun tidak terbawa arus kemajuan zaman.
Saran
Pembahasan tentang dakwah dan perkembangan masyarakat sangat urgen karena perkembangan masyarakat selalu mengalami kemajuan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini, namun kemajuan IPTEK tidak hanya membawa dampak positif bagi perkembangan manusia akan tetapi justru seringkali membawa dampak negatif yang berakibat pada kerusakan moral manusia. Oleh karena itu dakwah sebagai upaya mengajak manusia kepada jalan yang benar harus senantiasa dilaksanakan oleh para pelaku dakwah. Tanpa adanya dakwah tentu saja kehidupan manusia tidak akan terarah apalagi untuk mencapai kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat nanti. Itulah sebabnya dakwah dalam Islam adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim, karena hanya dengan dakwah kebenaran itu bisa tersebar ke seluruh lapisan masyarakat.
Daftar Rujukan
Al-Qur’an Al-Karim
Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah Yogyakarta: SI Press, 1996.
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Kairo: Musthafa al-Halaby, 1394 H/1974 M, jilid IX, Juz 27.
Ahmad Watik Pratiknya, Konsep dan Metode Dakwah di Kalangan Generasi Muda, makalah ini disampaikan pada Silaturrahmi dan Dialog Dakwah Generasi Muda, Bandung 24-26 Maret 1989.
Al-Bahy al-Khauly, Tadzkirat al-Du’at, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 1408 H/1987 M), Cet. Ke-8.
Amrullah Achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Prima Data, 1983.
Alvin Toffler, The Third Wave, t.t: Batam Book, 1981ز
Bahri Ghazali, Da’wah Komunikatif, Cet. I, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997.
J. Dwi Narwoko-Bagong Suyanto, Sosiologi Teks, Pengantar dan Terapan, Cet. I, Jakarta: Prenada Media, 2004.
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. III, Bandung: Mizan, 1993.
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Cet. I, Bandung: Mizan, 1996.
Muhammad Fuad, Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Qur’an, Damaskus: Dar al-Rasyid, 1405 H/1984 M.
Piot Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Cet. I. Jakarta: Prenada, 2004.
Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Kairo: Dar al-Syuruq, Cet. XIV, 1408 H/1987 M Jilid IV, Juz XIII
Syekh Ali Mahfudz, Hidayat al-Mursyidin, Mesir: Dar al-Mishr, 1975.