skip to main | skip to sidebar

DAKWAH DALAM MASYARAKAT PLURALIS


Oleh Efendi P.


Abstrak :  Dawah is an effort to invite people through the right way. It is to get reward from the God. Therefore, dawah is an obligation which can’t be denied by each adult Moslem. So, to invite someone in the right way, the preacher (da’i) must do through the right way too. In facing of various society, the need of a wise and persuasive dawah is a necessary. 

Kata-kata kunci :  dakwah, da’i, materi, metode, mad’u dan pluralis

Pendahuluan
Al-Qur’an banyak memberi isyarat kepada kita agar dalam hidup dan kehidupan manusia, senantiasa menyesuaikan diri dengan kehidupan yang serba majemuk. Dalam soal kepercayaan (agama), kita tidak boleh memaksakan orang lain (agama lain) untuk memeluk agama yang kita yakini kebenarannya (QS. al-Baqarah: 256). Sebab itu, andaikata Tuhan menghendaki, tentulah (akan) beriman semua orang yang di muka bumi ini seluruhnya (QS. Yunus: 99). Allah tidak melarang kepada kita untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kita karena agama dan tidak pula mengusir kita dari negeri Islam (QS. Muntahanah: 8-9), (Sjadzali, 1993: 6-7)
Oleh karena itu, dalam masyarakat yang pluralis, keharmonisan hidup bersama harus senantiasa dijaga dan dipelihara. Untuk menjaga keharmonisan hidup dalam masyarakat majemuk, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Saling menerima, di sini tiap subyek memandang dan menerima subyek lain dengan segala keberadaannya, dan bukan menurut kehendak dan kemauan subyek pertama. Dengan kata lain setiap golongan umat beragama menerima golongan agama lain, tanpa memperhitungkan perbedaan, kelebihan atau kekurangan.
b. Sikap saling mempercayai merupakan kenyataan dan pernyataan dari saling menerima. Hambatan utama dalam memelihara keharmonisan pergaulan bila hilang sikap saling mempercayai dan berganti dengan saling berprasangka serta saling mencurigai. Karena itu, langgeng atau tidaknya, retak atau tidaknya pergaulan baik antara pribadi maupun antar golongan sangat ditentukan oleh bertahan atau tidaknya sikap saling mempercayai. Dengan demikian kerukunan dalam pergaulan hidup antara umat beragama akan tetap terpelihara dengan terpeliharaya saling mempercayai antara satu golongan agama dengan golongan agama lain. 
c. Prinsip berpikir positif. Fungsional kerukunan antar umat beragama sebagai pengatur hubungan luar dalam tata cara bermasyarakat yang mewujudkan dengan kerjasama dalam proses social kemasyarakatan. Karena itu, tiap pihak harus berusaha agar tiap masalah yang timbul, dihadapi, dipecahkan dan diselesaikan secara obyektif dengan cara berpikir positif (al Munawar, 2003: 11).
Kedasaran yang luas terhadap pluralitas dari berbagai lapisan masyarakat agama tersebut akan menimbulkan sikap-sikap pluralis bagi masyarakat agama yang luas pula. Kesadaran itu dapat disosialisasikan secara nasional yang dimulai dari pemuka-pemuka agama dari masing-masing agama. Pastor atau pendeta dalam agama Kristen merupakan sosok yang paling strategis membawa jemaatnya untuk menyadari urgensitas eksistensi pluralitas bagi masyarakat Kristiani. Ustaz atau muballigh merupakan figur yang paling penting dalam agama Islam memberikan pengajaran bagi kaum muslimin di lingkungannya. Biksu atau pendeta merupakan tokoh yang paling berpengaruh memberikan semangat pluralitas bagi agama Budha dan Hindu, (al Munawar: 2003: 11).
Hubungan antara umat Islam di satu pihak, dan umat Kristen dan Yahudi di pihak lain, selalu menggambarkan ketengangan yang ditimbulkan bukan semata-mata oleh faktor agama, tetapi juga oleh faktor-faktor di luar agama terutama faktor ekonomi dan faktor politis, (Nasution, 1995: 269).
M. Quraish Shihab, memberikan komentar bahwa hubungan antar manusia adalah hubungan persaudaraan, bukan hubungan “take and give”. Perlakukan orang lain sebagai saudara, bukankah kita semua dari satu ibu dan bapak. Bukankah kita semua sakit bila dicubit dan senang bila dihibur. Persaudaraan ini menuntut hubungan yang serasi dan jalinan kasih sayang “kunjung-mengunjungi, bertukar hadiah”. Agama tidak melarang penerimaan maupun pemberian hadiah dari dan kepada siapapun selama hal tersebut tidak melahirkan pencemaran aqidah, (Shihab, 1998: 445-447).  Dengan demikian dipahami bahwa dalam Islam tidak dilarang menerima dan memberi bantuan atau hadiah meskipun berbeda agama atau keyakinan.

Metode  Dakwah pada Masyarakat Pluralis
Ketika kita hidup dan berinteraksi dengan orang lain dari berbagai negeri dengan budaya yang berlainan, semua mendambakan kedamaian dan kebahagiaan. Hanya prasangka dan etnosentrismelah yang membuat orang-orang merasa dan berprilaku seolah-olah mereka lebih baik daripada orang lain, (Mulyana dkk., 2000: 231). 
Al-Qur’ān memberi petujuk bahwa dalam melaksanakan dan memelihara persaudaraan Islam diperlukan sikap terbuka, yaitu sikap sedia mengakui kebenaran orang lain jika memang ternyata benar dan mengakui kesalahan diri sendiri jika memang ternyata salah. Hal ini tidak mudah untuk dilakukan, karena memerlukan tingkat ketulusan dan kejujuran yang amat sangat tinggi, sehingga tidak merasa benar sendiri.
Pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran serta sistem penyebaran agama atau yang dalam Islam terkenal dengan istilah “al-dakwah”. Pemahaman yang benar terhadap semua persoalan pada gilirannya akan sangat bermanfaat dalam merespons problem pluralitas umat dalam berbagai segi yang akhir-akhir ini sering terkoyak.
Menghadapi mad’u yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya, para da’i memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam mampu memasuki ruang hati para mad’u dengan tepat. Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk mampu mengerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbunya, (M. Munir, dkk., 2003: 11-12).
Da’i dan muballigh dalam menyampaikan pesan-pesan agama kepada masyarakat akan berhadapan dengan masyarakat yang majemuk. Dengan demikian, maka para da’i dan muballigh harus mampu mengakomodir  secara keseluruhan sasaran dakwah (mad’u) tersebut. Sehingga dalam pelaksanaan dakwah para da’i dan muballigh dituntut memahami obyek dakwah dari berbagai segi.
Umat Islam diperintahkan untuk senantiasa menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan sama-sama juga pasrah (muslimūn) kepada-Nya. Bahkan biarpun sekiranya kita mengetahui dengan pasti bahwa orang lain menyembah sesuatu obyek sembahan yang bukan Allah Yang Maha Esa, kita pun tetap dilarang berlaku tidak sopan terhadap orang itu. Menurut al-Qur’ān, sikap yang demikian itu akan membuat mereka berbalik menyerang dan melakukan tindakan ketidaksopanan yang sama terhadap Allah Yang Maha Esa, sebagai akibat dari dorongan rasa permusuhan tanpa pengetahuan yang memadai. Terhadap mereka yang melakukan penyerangan dan ketidaksopanan pun, pergaulan duniawi yang baik tetap harus dijaga, (Madjid, 2000: 4).
Semua bangsa adalah sama dan sejajar dalam ketidaksempurnaan mereka. Namun, mereka mempunyai kelebihan dari yang lain adalah semata karena potensi yang dimiliki, ditambah dengan pilihan dan usaha yang dihadapi masing-masing (Imarah, 1999: 141-142) maka, kemajemukan, pluralitas, dan perbedaan merupakan sunnah Allah bagi manusia, demikian juga adanya saling berpasangan.
Bagaimana para sabahat nabi dan umat Islam dari masa ke masa menerapkan prinsip dan nilai Ilahi dalam menciptakan kehidupan yang damai di tengah-tengah masyarakat yang berbeda agama, budaya, ras suku dan bangsa. Prinsip hubungan muslim dengan orang lain dijelaskan Allah swt. dalam al-Qur’an dan melalui utusanNya nabi Muhammad saw. di mana harus terjalin atas dasar nilai persamaan, toleransi, keadilan, kemerdekaan, dan persaudaraan kemanusiaan (al-ikhwah al-insaniyah). Nilai-nilai Qur’ani inilah yang direkomendasikan Islam sebagai landasan utama bagi hubungan kemanusiaan yang berlatar belakang perbedaan ras, suku bangsa, agama, bahasa dan budaya.

Dakwah yang Arif dan Transformatif
Berbagai gambaran riil di lapangan menunjukkan bahwa merajut tali kerukunan dan toleransi di tengah pluralitas agama memang bukan perkara mudah. Beberapa faktor berikut jelas merupakan ancaman bagi tercapainya toleransi. Pertama, sikap agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan agamanya. Kedua, adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung berorientasi pada peningkatan jumlah anggota secara kuan­titatif ketimbang melakukan perbaikan kualitas keimanan para peme­luknya. Ketiga, disparitas ekonomi antar para penganut agama yang berbeda, (Subhan, 2000:28).  Guna meminimalisir ancaman seperti ini (terutama ancaman pertama dan kedua), maka mau tidak mau umat Islam, demikian juga umat lain, dituntut untuk menata aktifitas penyebaran atau dakwah agama secara lebih proporsional dan dewasa.
Kedewasaan ini perlu mendapat perhatian semua pihak karena upaya membina kerukunan umat beragama seringkali terkendala oleh adanya kenyataan bahwa sosialisasi ajaran keagamaan di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh juru dakwah yang kurang peka terhadap kerukunan umat beragama. Semangat berdakwah yang tinggi dari para pegiat dakwah ini seringkali dinodai dengan cara-cara menjelek-jelekan milik (agama) orang lain.
Terkait dengan ini, beberapa hal berikut tam­paknya merupakan persoalan mendasar yang harus senantiasa diupayakan, jika Islam diharapkan menjadi rahmah untuk seluruh alam.  Ketiga hal itu adalah  (1), penyiapan da’i yang arif sekaligus bersi­kap inklusif, bukan eksklusif; (2), memilih materi dakwah yang menyejuk­kan dan (3), dakwah berparadigma transformatif sebagai modal menuju kerjasama antar umat beragama. Yang pertama, erat kaitannya dengan penyiapan kompetensi personal seorang dai sedang sisanya kompetensi penunjang yang harus menjadi concern seorang pendakwah atau muballigh.

Da’i  yang Arif lagi Inklusif
Adalah tugas setiap umat Islam untuk tidak hanya melaksanakan ajaran agamanya, tetapi juga mendakwahkannya keadaan diri sendiri maupun orang lain di manapun dan kapan pun. Dakwah sebagai upaya penyebaran ajaran Islam merupakan misi suci sebagai bentuk keimanan setiap muslim akan kebenaran agama yang dianutnya.  Al-Qur’an surah al-Nahl (16): 125 secara tegas menyebutkan, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan beragumentasilah dengan mereka dengan yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Demikian juga sebuah hadis yang sering kita dengar secara eksplisit menyerukan agar kita menyampaikan kebenaran dari nabi meskipun satu ayat (sedikit) serta beberepa beberpa dalil lain yang kompatible dengan anjuran berdakwah.
Dari ayat di atas, satu hal yang pasti dan mesti digaris bawahi adalah bahwa dakwah hendaknya dilakukan secara bijaksana dan penuh kedewasaan. Kedewasaan sebagai umat yang akan mengantarkan keluhuran Islam di mata kelompok lain serta menjadikan orang lain merasa aman (secure) dan tak terancam dengan Islam. Agar tujuan mulia seperti ini tercapai maka hal-hal berikut seyogyanya dimiliki oleh seorang da’i dalam melakukan dakwah pada masyarakat plural.
Pertama, menyadari heterogenitas masyarakat sasaran dakwah (mad’u) yang dihadapinya. Keragaman audiens sasaran dakwah menuntut metode dan materi serta strategi dakwah yang beragam pula sesuai kebutuhan mereka. Nabi sendiri melalui hadisnya menganjurkan pada kita untuk memberi nasehat, informasi kepada orang lain sesuai tingkat kemampuan kognisinya (‘uqulihim).
Kedua, dakwah hendaknya dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian. Esensi dakwah mestilah melibatkan dialog bermakna yang penuh kebijaksanaan, perhatian, kesabaran dan kasih sayang. Hanya dengan cara demikian audiens akan menerima ajakan seorang dai dengan penuh kesadaran. Harus disadari oleh seorang dai bahwa kebenaran yang ia sampaikan bukanlah satu-satunya kebenaran tunggal, satu-satunya kebenaran yang paling absah. Karena, meskipun kebenaran wahyu agama bersifat mutlak adanya, tetapi keterlibatan manusia dalam memahami dan menafsirkan pesan-pesan agama selalu saja dibayang-bayangi oleh subyektifitas atau horizon kemanusiaan masing-masing orang.
Ketiga, dakwah hendaknya dilakukan secara persuasif, jauh dari sikap memaksa karena sikap yang demikian di samping kurang arif juga akan berakibat pada keengganan orang mengikuti seruan sang da’i yang pada akhirnya akan membuat misi suci dakwah menjadi gagal. “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, silahkan (secara sukarela) siapa yang hendak beriman berimanlah dan siapa yang ingkar silahkan (QS. Al-Kahfi (18): 29); “Tiada paksaan dalam memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas perbedaan antara yang benar dan yang sesat. (QS. al-Baqarah (2); 256).
Keempat, menghindari pikiran dan sikap menghina dan menjelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan yang menjadi keyakinan umat agama lain. Dalam surat al-An’am (6); 108, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. Tak ada salahnya jika etika berdakwah sedikit meniru  etika periklanan. Salah satu etika yang jamak disepakai dalam kegiatan menawarkan sebuah produk ini adalah di samping tidak memaksa konsumen untuk membeli produk tertentu, juga larangan menghina atau menjelek-jelekkan produk lain. Jika hal itu dilakukan tentu  pihak-pihak yang dirugikan akan melakukan somasi, protes dan dapat berakibat pada pengaduan pencemaran nama baik.
Kelima, menenggang perbedaan dan menjauhi sikap ekstrimisme dalam bergama. Prinsip Islam dalam beragama adalah sikap jalan tengah, moderat (umatan wasathon). Sejumlah ayat al-Qura’an dan al-Hadis secara tegas menganjurkan umat Islam untuk mengambil jalan tengah, menjauhi ekstrimisme, menghindari kekakuan atau kerigidan dalam beragama. Sikap ekstrimisme biasanya akan berujung pada sikap kurang toleran, mengklaim pendapat sendiri sebagai paling absah dan  benar (truth claim) sementara yang lain salah, sesat, bid’ah (heterodoks). Alwi Shihab (1989) mengungkapkan pernyataan Abû Ishaq Al-Syatibi yang meyatakan, “Kurangnya pengetahuan agama dan kesombongan adalah akar-akar bid’ah serta perpecahan umat, dan pada akhirnya dapat menggiring ke arah perselisihan internal dan perpecahan perlahan-lahan”, (Subhan, 2000: 257).
Hal-hal di atas dan tentu saja ditambah dengan kompetensi personal yang harus dimiliki seorang dai, jika dilaksanakan secara sungguh-sungguh maka akan sangat berguna bagi upaya menjaga harmoni di antara semua penganut agama. Sebagai tambahan, kompetensi personal yang harus dimiliki seorang da’i di atas hanya dapat tercapai jika da’i tersebut tidak hanya mempunyai pengetahuan yang banyak tentang agamanya, tetapi juga memiliki pemahaman yang benar dalam menterjemahkan pesan-pesan moral agama Islam.
Di samping itu, tentu saja prinsip-prinsip Islam tentang pluralisme dan penghargaan terhadapnya mestilah terinternalisasi secara baik dalam diri setiap da’i. Prinsip Islam tentang pluralisme tergambar baik dalam landasan etik-normatif yang terdokumentasi dalam al-Qur’an dan al-Hadis maupun rekaman historis pengalaman Nabi Muhammad ketika mengalami perjumpaan dengan agama lain, (Coward, 1989:89).
Contoh ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan landas tumpu terhadap penghargaan dan penyikapan yang benar terhadap pluralisme misalnya, QS. al-Baqarah (2); 62 dan 148; dua ayat ini di samping mengandung kenyataan bahwa pluralitas itu bagian dari Sunnatullâh sekaligus juga melaui pluralitas kita dituntut untuk berlomba dalam kebaikan. (fastabiq al-khairât). Pluralisme juga merupakan kebijakan Tuhan yang berlaku dalam sejarah (QS. al-Rum (30): 22 dan al-Baqarah (2): 213. 
Artinya kenyataan pluralitas demikian adalah keinginan Allah sendiri, karena jika Allah menghendaki, tentulah Dia menciptakan manusia dalam satu komunitas saja. Ide semisal ini diulang-ulang di banyak tempat dalam al-Qur’an dengan penekanan berbeda semisal pengujian kualitas hamba terhadap pemberian-Nya (QS.al-Ma’idah (5): 48); peringatan bahwa mereka suka berselisih pendapat (QS. Hûd (11):118); pemberian petunjuk bagi mereka yang mau mengikuti Tuhan (QS. al-Nahl (16): 93) dan memasukkan orang yang dikehendaki ke dalam rahmat-Nya (QS. Al- Syûrâ (42): 8).  
Al-Qur’an juga secara eksplisit mengajarkan bahwa pada dasarnya umat manusia adalah tunggal (QS. al-Baqarah (2): 213; Yûnus (10): 19). Agama adalah ‘satu’ dalam dimensi substantif dan esoterisnyanya. Namun penting dicatat bahwah “kesatuan” bukan berarti “keseragaman”. Meskipun dari luar tampak berbeda, namun dalam setiap agama terdapat kesamaan yakni kesaman realitas tertinggi yang menjadi tujuan akhirnya (ultimate goal; al-gardh) dari setiap agama. Oleh karena adanya kesamaan inilah maka al-Qur’an mengajak seluruh umat beragama untuk mencari titik temu atau yang lazim dikenal dengan istilah kalimat- un sawâ itu, (Rachman, 2001:21). .
“Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahl al-Kitâb! Marilah menuju ketitik pertemuan (kalimat un sawâ’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allâh dan tidak menyekutukan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebaghian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “Tuhan-Tuhan” selain Allah”.
Ajakan untuk mencarai titik temu di antara penganut agama di luar Islam yang sering disebut sebagai Ahl al-Kitab, (Madjid, 2004:52), memberi implikasi lanjut berupa keyakinan bahwa: siapa pun dapat memperoleh “keselamatan” (salvation) asalkan ia beriman kepada Allah, kepada hari kiamat dan berbuat baik. Karena bagi mereka semua, Allah telah menyediakan pahala masing-masing, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula bersedih hati. (Qs. Al-Baqoroh (2); 62 dan ayat yang mirip dengan ini (Qs. al-Mâi’idah (5); 69).
Menarik untuk disebutkan, bahwa perhatian dan pengakuan Islam akan agama lain seperti di atas sesungguhnya merupakan bagian dan sekaligus sayarat bagi kesempurnaan keimanan seorang Muslim, (Azra, 1999: 34). Artinya jika seseorang ingin imannya sempurna maka wajib baginya mengakui dan menghormati agama lain. Tidak lah mengherankan jika toleransi yang sedemikian tinggi ini menjadi catatan tersendiri bagi para pengamat Isam semisal Cyril Glasse yang menyatakan; “Kenyataan bahwa satu wahyu (Islam) menyebut wahyu-wahyu lain sebagai abash adalah sebuah kejadian yang luar biasa dalam sejarah agama-agama”, (Glasse, 1991: 27).
Jelas bahwa perhatian al-Qur’an terhadap adanya pluralitas tidak hanya sebatas pengakuan atau akomodasi akan keberadaannya, tetapi juga kedekatan dan saling menghormati (QS. al-Ma’idah (5): 82-83). Lebih dari itu, penghargaan al-Qur’an terhadap agama lain, nabi-nabi lain berikut kitab-kitab sucinya, juga bukan hanya sebatas penghormatan formalitas semata, melainkan pengakuan akan kebenaran mereka juga. Bahkan Islam memandangnya bukan sebagai “agama lain” yang harus ditoleransi tetapi sebagai agama yang benar-benar ada secara hukum dan benar-benar agama wahyu dari Tuhan, (al-Faruqi, 22-23).
Berangkat dari pandangan al-Qur’an yang khas tentang pluralisme ini, sesungguhnya kita dapat menarik `ibrah bahwa pemahaman pluralisme tidak cukup dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, berbeda-beda suku bangsa dan agamanya, yang justru terkesan menyiratkan adanya fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversity within the bonds of civility), (Rahman, 2001:31). Singkatnya, pluralisme tidak bisa dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negatif good). Di mana pluralisme hanya digunakan untuk menghilangkan fanatisme (ta’âshû-biyah), (Rahman, 2001:31).

Materi Dakwah yang Menyejukkan
Setelah memiliki kompetensi (atau lebih tepatnya etika dasar)  personal berikut internalisasi nilai-nilai atau prinsip pluralitas pada diri seorang da’i, maka langkah selanjutnya yang harus diperhatikan oleh seorang da’i adalah memilih  materi dakwah.  Memilih materi dakwah yang dimaksud di sini adalah dengan sedapat mungkin mengedepankan pesan-pesan agama yang memberi kesejukkan dan menghindari provokasi massa ke arah yang destruktif.
Untuk memilih materi dakwah seperti termaksud di atas, di samping ditentukan oleh apresiasi  positif kepada ‘yang lain’, juga yang terpenting adalah kematangan para dai dalam memahami pesan-pesan atau ide moral Islam secara keseluruhan. Sekedar ilustrasi sederhana, mengapa kita suka menonjolkan ayat semisal “Tidak akan rela orang-orang Yahudi dan Nasrani (terhadapmu) sampai kamu mengikuti agama mereka” tanpa dibarengi dengan penjelasan terhadap konteks ayat tersebut, sementara masih banyak ayat (pluralis) lainnya yang menghargai agama lain seperti terungkap di atas. Atau contoh lain, kenapa hadis Nabi yang artinya, “Ucapkan salam kepada orang lain baik yang kau kenal maupun yang tidak kau kenal (man arofta wa man lam ta’rif)”, ( Lasyin, 1970:233-237) justeru terdesak oleh larangan atau fatwa yang mengharamkan umat Islam mengucapkan salam kepada orang (agama) lain, (Madjid, 2004: 66-78).
 Fenomena keberagaman yang lebih menggambarkan wajah kusut hubungan antar umat beragama ini memang tidak hanya diakibatkan pilihan da’i akan materi dakwahnya saja, tetapi juga oleh faktor lain. Salah satu di antaranya adalah kurangnya pemahaman akan dialektika teks dan konteks yang berakibat pada kesalahan pengamalan sekaligus penyebaran syariat Islam. Jika kesalahan ini masih sebatas pada praksis individual tentu tidak ada masalah. Persoalan menjadi kompleks ketika kesalahan pemahaman ini dikomunikasikan dan didakwahkan kepada publik secara luas. Sebabnya jelas, syariat Islam yang kaya akan nilai-nilai dan prinsip-prinsip untuk kemaslahatan manusia akan tereduksi hingga akhirnya hilang sama sekali.
Kemaslahatan adalah inti dari syariat Islam. Al-Syatibi dengan sangat baik mendiskripsikan hal ini. Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran yang menekankan aspek peribadatan atau ritual (ta‘âbudiyah) semata, tetapi juga membawa kemaslahatan bagi manusia (al-maslahah al-‘âmmah).
Orientasi dakwah yang lebih mengedepankan perbaikan kualitas keimanan individual dengan tekanan hanya pada ketaatan menjalankan ritual keagamaan telah mengabaikan satu dimensi penting dalam dakwah. Dimensi dakwah yang terabaikan tersebut adalah pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Islam secara menyeluruh. Keterbelakangan, ketertinggalan dan keterpinggiran umat Islam dari percaturan (peradaban) global dewasa ini adalah beberapa realitas yang kurang tersentuh dalam materi dakwah.

Kesimpulan
Dari uraian yang dikemukakan di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 
1.     Dakwah adalah kewajiban yang harus diemban bagi setiap muslim dan disampaikannya dengan cara-cara yang  arif  dan bijaksana.
2.     Dalam pelaksanaan dakwah pada masyarakat yang pluralis, metode dakwah bi al-hikmah harus di kedepankan.
3.     Keragaman atau kemajemukan hidup manusia dalam berbagai hal merupakan sunnatullah.
4.     Mengakui dan menerima keragaman dalam seluruh aspek adalah sesuatu yang wajar.
5.     Hidup dalam masyarakat majemuk akan eksis jika setiap orang saling memahami, saling mengerti, saling menghargai, saling menerima dan saling memaklumi.
6.     Dakwah Islamiah akan lebih bermakna jika dilakukan dengan melibatkan kerjasama dengan semua pihak termasuk mereka yang berada di luar Islam.



Daftar Rujukan

Azra, Azumardi. “Bingkai Teologi Kerukunan: Perspektif Islam” dalam Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam Jakarta: Paramadina, 1999.

Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001.

Burhanuddin, Jajat dan Arif Subhan, eds., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan Sosial, Jakarta: Balitbang Agama Depag RI dan PPIM, 2000.

Coward, Pluralisme, Tantangan Agama-agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989

Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mahkota, 1989.

Al-Faruqi, “The Role of Islam in Global Interreligious Dependence” dalam Toward a Global Conggress of the World an Religions, ed. Waren Lewis, New York: Bary Town, Univication Theological Seminary.

Glasse, Cyril. “Ahl al-Kitab”, dalam The Concise Enciclopaedia of Islam,  San Francisco: Harper, 1991.

Husain al Munawar, H.Said Agil. Fihih: Hubungan Antar Agama, Cet. II; Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralitas Peradaban dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Terjemahan dari al-Islam wa al-Taaddudiyah al-Ikhtilafu wa al-Tanawwu fi Ithar al-Wihda, oleh Abdul Hayyi al-Qattan, Jakarta: Gema Insani, 1999.

Madjid, Nurcholis. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Jakarta: Mediacita, 2000.

Mulyana, Deddy dkk., Komunikasi Antarbudaya, Cet. V; Bandung: PT. Remanja Rosdakarya, 2000.

Munir, M. dkk., Metode Dakwah,  Edisi I, Jakarta: Kencana, 2003.

Musa Syahin Lasyin. Fath al-Mu’im: Syarh Shahih Muslim, Bagian I, Kairo: Maktabah al-Jâmiat al-Azhârîyah, 1970.

Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Cet. III; Bandung: Mizan, 1995.

Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an, Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980.

Shihab, M.Quraish. Lentera Hati, Cet. XIII; Bandung: Mizan, 1998.

Sjadzali, H. Munawir. Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Edisi V; Jakarta: UI, 1993.

al-Syâtibi, Abû Ishaq. al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, Jilid I. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt.